Dengan belajar dari sejarah, kita bisa bercermin betapa pentingnya basis budaya – pendidikan sebagai pengungkit kebangkitan bangsa. Lahirnya Budi Utomo(BU),20 MEI 1908, ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soekarno sejak 1948, dalam ikhtiar untuk menggalang persatuan nasional. Tatkala Republik muda yang harus menghadapi agresi Belanda justru dirundung perpecahan politik. Alasan memilih BU kemungkinan karena organisasi ini merupakan pergerakan modern yang moderat, yang dalam usaha mentransformasikan dirinya menjadi partai politik tak berkelanjutan. Dengan itu, organisasi ini tidak menjadi bagian dari pihak – pihak yang bersengketa di masa revolusi.
Apa pun alasannya ,penetapan BU sebagai penanda kebangkitan
itu harus dilihat sebagai pars pro toto; menunjuk salah satu untuk
menggambarkan seluruh kemunculan berbagai organisasi sejenis yang
memperjuangkan kemajuan abad ke-20. Lepas dari itu, kelahiran BU dan organisasi
lain semasanya itu tidaklah bergerak dari ruang hampa, melainkan bertolak dari
krisis sosial – ekonomi dan di atas jalan pergerakan yang telah dikatakan oleh
para perintis.
Menurut perspektif teori gerakan sosial, kemunculan gerakan
sosial itu melewati semacam siklus kehidupan, mulai dari fase pembenihan,
pembentukan, dan konsolidasi. Gerakan sosial jarang muncul secara spontan, pada
umumnya memerlukan masa persiapan yang panjang. Tak ada gerakan sosial yang
muncul hingga menemukan suatu peluang politik yang tersedia, suatu konteks
problem – problem sosial dan juga suatu konteks komunikasi, yang membuka
kesempatan bagi pengartikulasian problem dan penyebarluasan pengetahuan.
Sebagai gerakan sosial, kebangkitan nasional menemukan masa pembenihannya sejak akhir abad ke-19 , sebagai akses politik pendidikan rezim liberal. Dalam usahanya memperluas birokrasi pendukung bagi industri perkebunan, rajin liberal memerlukan sekolah keguruan untuk menyiapkan tenaga teknis. Maka dari itu, salah satu institusi pendidikan modern yang pertama kali didirikan adalah sekolah pelatihan guru pribumi; dimulai di Surakarta pada 1851/1852, disusul beberapa sekolah serupa baik di dalam maupun di luar Jawa terutama setelah 1870.
Hingga akhir abad ke-19 , peran guru dalam mempromosikan
wacana kemajuan sangatlah menonjol,
setidaknya karena 2 alasan. Profesi guru pada masa itu menghimpun porsi
terbesar dari orang – orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai pendidik
mereka merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara –
saudara sebangsanya. Selain itu, profesi guru kurang dihargai dibanding posisi
administratif, sehingga menstruasi mereka untuk menjadi artikulator konsep
kemajuan, dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan
privilese sosial. Gagasan kemajuan dan kritik kaum guru terhadap kondisi yang
ada diartikulasikan melalui media cetak dan berbagai perkumpulan yang mereka
dirikan , seperti soeloeh(sejak 1899), serta perkumpulan guru yang paling
berpengaruh, mufakat guru, dengan keanggotaan di berbagai Kabupaten di Jawa.
Sementara itu, pada tahun – tahun terakhir abad ke-19,
perekonomian liberal yang dikembangkan dengan eksploitasi yang kejam atas buruh
Indonesia mengalami krisis akut. Krisis berkelanjutan dalam kehidupan sosial –
ekonomi terjadi akibat stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak,
kelaparan dan keringanan kesehatan akibat gizi buruk dan berbagai wabah
penyakit. Beragam katastrofi sosial
itu lantas menciptakan iklim opini dan atmosfer politik baru di negeri Belanda.
Partai – partai cenderung mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi
dan efisiensi perekonomian, termasuk perbaikan kesejahteraan di tanah jajahan. Lewat pemilihan umum pada tahun 1901, partai
Kristen tampil sebagai pemenang, menjadikan liberalisme sebagai kredo usang,
digantikan oleh Politik Etis.
Di bawah politik etis, pendidikan, irigasi, dan transmigrasi
menjadi prioritas program kesejahteraan, dengan pendidikan dipandang sebagai
hal yang paling esensial. Di mata bapak gerakan etis, Th. Van Deventer,
meningkatnya kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya personel
pribumi yang cukup terlatih untuk menjalankan tugasnya. Lewat pendidikan, ia
memimpikan kelahiran kembali hindia.
Di bawah rejim pendidikan etis, pada 1900 – 1902, sekolah
dokter Djawa, yang berdiri sejak akhir abad ke-19, diubah menjadi school tot
opleideing Van inlansche artsen (STOVIA). Lama belajar diperpanjang menjadi enam
tahun tahap inti pengajaran kedokteran (geneeskundige),
setelah mengikuti 3 tahun masa persiapan, yang membuatnya setara dengan tahun –
tahun awal perguruan tinggi. Hal ini menempatkan STOVIA sebagai jenjang
pendidikan tertinggi yang tersedia di hindia awal abad ke-20. Sejumlah
mahasiswa dari sekolah inilah yang melanjutkan tingkat estafet kemajuan dari
kaum guru, dengan mendirikan BU.
Gerakan kebangkitan yang diperjuangkan Soetomo dan kawan –
kawan itu tidaklah datang secara tiba – tiba, melainkan hasil usaha sadar untuk
belajar dan berjuang . Dari manakah usaha kebangkitan nasional itu harus
dimulai? Dari semangat zaman yang menyadari pentingnya fajar budi lewat
pendidikan yang berkebudayaan. Kesadaran itu bukan hanya tercermin dari
kelahiran Budi Utomo( keutamaan budi), tetapi juga dari organisasi sezaman ,
seperti jamiat khair(perkumpulan kebajikan budi), dan juga Tri Koro Dharmo(
tiga tujuan mulia: sakti,budi,bakti). Singkat kata, budi pekerti (budi
daya/budaya) dijadikan tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan.
Agen utama dalam menggerakkan kebingungan budi itu adalah
kaum muda. Pendirian BU merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada
zamannya untuk bangkit dari keterbelakangan dan keterjajahan dengan
memperjuangkan gerakan kemajuan. Gerakan kemajuan yang dilpelopori oleh para
pemuda( berusia antara 19-21 tahun) itu dilakukan utamanya melalui pemupukan
modal budaya(pengajaran, kebudayaan) : mengupayakan akses pendidikan yang lebih
luas bagi kaum pribumi, penggalangan beasiswa, dan revitalitasi budaya.
Pemupukan modal budaya itu kemudian diperkuat oleh modal
politik dengan berusaha melahirkan kepemimpinan baru. Dengan melancarkan kritik
terhadap kegagalan kepemimpinan lama dalam melindungi kepentingan rakyat, BU
pada awalnya( sebelum dikooptasi priyayi tua) berusaha menghadirkan
kepemimpinan baru, dengan menerapkan manajemen modern yang mengandalkan
keunggulan pikiran( meritokrasi ) ketimbang keturunan. Langkah – langkah
rintisan BU ini, lewat persambungannya dengan gerakan – gerakan kebangkitan
yang lain, melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang membuka jalan
bagi kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.
Created by : M. Riyan Ramadhani, Jurnal Warna MAN 2 Kota Bogor
No comments:
Post a Comment