Sunday, September 26, 2021

KETIKA HUJAN TURUN

 

https://asset.kompas.com

Sore itu di jalan Otista, Bogor,  seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia menjaga tempat percetakan kecil miliknya yang diwariskan dari sang bapak.

 Tempat ini sudah ada sejak bapak saya masih lajang, beliau membuka tempat ini karena sang pujaan hati (Ibuku) sedang disibukkan dengan skripsinya yang sudah selesai, dan siap untuk dicetak. Ibuku yang waktu itu sedang kebingungan mencari tempat untuk mencetak skripsinya, lantas bertanya kepada bapak, di mana tempat yang bisa mencetak skripsi dengan harga yang sesuai dengan kantong anak kuliahan. Tanpa pikir panjang, bapak sontak menjawab bahwa dia memiliki tempat percetakan yang bisa mencetak skripsi buatan ibu. Selepas ibu menyetujui tawaran bapak, bapak segera menuju tempat di mana ia membuka tempat percetakan ini. Dahulu tempat ini difungsikan sebagai toko kelontong milik kakekku sebelum akhirnya ditutup karena bangkrut dan diberikan pada bapak sebagai warisan sebelum kakek meninggal dunia. Keesokan harinya bapak langsung membeli semua peralatan untuk membuat tempat percetakan dan langsung menyulap bekas toko kelontong itu dalam semalam suntuk. Ibu-lah yang menjadi pelanggan pertama yang datang dan mencetak skripsinya di toko percetakan kecil milik bapak yang dibuat dalam waktu 24 jam. Dengan dalih sebagai pelanggan pertama, maka bapak menggratiskan ongkos cetak skripsi untuk ibu yang sebenarnya adalah sebuah modal dusta bapak. Setelah skripsi ibu dicetak dan ibu meraih gelar sarjananya, bapak memberanikan diri untuk mengakui bahwa  tempat percetakan kecil itu memang khusus dibuat untuk mencetak skripsi milik ibu agar ia tak mencetaknya di tempat percetakan yang lain. Ibu tergelak saat bapak selesai membuat pengakuan kepadanya dan saat itu juga, ibu yakin bahwa bapaklah pilihan yang tepat untuk mendampinginya mengarungi masa depan yang menanti di depan mata. Singkat cerita, bapak lalu menikahi ibu dan memulai babak baru sebagai Founder dan Co-Founder tempat percetakan kecil pertama di jalan Otista. Bapak meninggal sepuluh tahun lalu saat sedang mencetak skripsi seorang mahasiswi Universitas Pakuan. Setelah bapak berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa, saya lantas mengambil alih posisi bapak bersama adikku, Sarman yang menggantikan takhta ibu sebagai co-founder. Walaupun kini sudah bermunculan tempat percetakan lain yang lebih modern, tempat ini tetap akan menjadi tempat percetakan pertama di jalan Otista sekaligus menjadi saksi bisu kisah cinta dua sejoli yang memulai cintanya di tempat percetakan kecil ini.”

Sudah lima tahun lalu aku mendengar cerita itu terucap dari lisan Kek Sarmin yang kala itu hujan sedang deras-derasnya turun membasahi kota hujan yang merindukan turunnya hujan. Itu pun sebuah ketidaksengajaan karena hujan yang turun. Aku yang sedang asyik menjejaki trotoar Otista, dikagetkan dengan petir yang menggelagar, diikuti hujan lebat yang turun selama satu jam lamanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung meneduh di sebuah percetakan kecil tua milik Kek Sarmin.  Kebetulan aku yang sedang membawa file foto untuk dicetak, langsung memberikannya pada Kek Sarmin, dan karena hujan belum kunjung reda, Kek Sarmin mendobrak hening dengan bercerita tentang sejarah tempat percetakan kecil miliknya.

Angkot-angkot hijau selalu menghiasi hari-hariku di kota hujan ini, terlebih jika jam pulang kantor yang selalu dipadati ribuan kendaraan yang berebut jalanan menuju rumah masing-masing. Aku lebih senang berjalan dari kantor menuju rumah, selain lebih hemat ongkos, aku juga bisa menikmati indahnya sore hari ditengah padatnya kota hujan.

Sebelum aku beranjak dari kantor, Arman, salah satu rekanku di kantor, yang juga merupakan teman satu sekolah semasa SMA meminta bantuanku untuk mencetakkan foto angkatan SMA kami, katanya seminggu lagi akan ada reuni SMA angkatan kami.

“Kala, gue mau minta tolong cetakin foto angkatan kita, buat reuni satu minggu lagi.”

“Boleh, buat reuni, ya?  Mau dicetak ukuran berapa?”

“ Ukuran 20x40.” Arman lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan sebuah flash disk di mejaku.

“Nama file­-nya Reuni SMA, ada di folder SMA….” Suara Arman menghilang, sejalan dengan dia yang pergi menjauh dari mejaku. Dirinya masih disibukkan dengan tugas kantor yang tak kunjung usai. Baiklah, hari ini aku akan kembali berkunjung ke tempat percetakan pertama di jalan Otista, milik seorang kakek tua, Kek Sarmin.

“Selamat sore, Kek … apa kabarnya, Kek?”

“Sore, Nak Kala, kabar baik, udah lama nggak mampir ke sini ....” Kek Sarmin tersadar dari lamunannya.

“Mau cetak foto, Nak Kala?” Kek Sarmin bertanya memastikan.

“Iya, Kek, foto SMA, ukurannya 20x40 ya, Kek ,…” Aku menyerahkan flash disk yang berisi file untuk dicetak.

“Foto yang mau dicetak ada di folder SMA, nama file-nya Reuni SMA.” Aku sedikit melongok ke arah komputer untuk memastikan bahwa file yang akan dicetak tidak salah. Tak lama setelah aku menarik kursi untuk duduk menunggu foto dicetak, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku.

“Kala, kamu besok ikut aku, kita ditugaskan untuk pergi ke Pancoran, Jakarta. Kantor cabang di sana lagi butuh bantuan kita. Nggak lama, kok, cuma seminggu.” Pesan itu datang dari Indah, atasanku yang juga temanku di kantor.

“Kek, kira-kira nyetak fotonya berapa lama lagi ya?”

“Baru juga transfer file, Nak, yaaa ... kira-kira satu setengah jam baru bisa diambil.”

Aku melihat jam di tangan, pukul lima lewat seperempat. Aku tidak mungkin menunggu sampai foto itu jadi. Waktuku bisa terbuang sia-sia. Lebih baik aku pulang untuk packing keperluan selama di Jakarta.

“Kek, aku pamit pulang dulu ya… nanti malam aku ke sini lagi buat ngambil fotonya.” Aku bergegas meninggalkan tempat percetakan.

“Hati-hati, Nak…” suara Kek Sarmin terdengar samar, berbarengan dengan deru knalpot kendaraan bermotor yang berhamburan di jalanan.

Setibanya di kosan, aku langsung menurunkan koper dari atas lemari dan mencari serta melipat baju-baju untuk seminggu ke depan. Lima menit aku fokus dengan baju dan koper, ponselku bergetar, menandakan ada panggilan telepon masuk. Aku mengambil ponselku di atas kasur yang penuh dengan baju untuk kubawa besok. Dari Indah.

“Halo, ada apa, Ndah?”

“Halo, La, informasi baru, kita besok nggak jadi ke Jakarta, kita jadinya pergi ke Jogja. Ternyata yang lebih butuh bantuan kita itu kantor cabang Jogja, bukan Jakarta. Besok ketemu di Gambir, yaa… kereta jam tujuh pagi….. see you…”

Aku harus segera merapikan perlengkapan untuk besok sebelum malam tiba. Aku merasa sangat lelah, jadi aku putuskan untuk beristirahat malam ini, tidak digunakan untuk terhanyut dalam drama Korea yang biasa aku tonton kala malam menyelimuti. Akhirnya selesai, semua perlengkapan untuk satu minggu di Jogja sudah aku masukkan ke dalam koper berukuran sedang. Aku mengempaskan tubuhku ke atas kasur, menyalakan ponsel, dan melihat-lihat sebentar apa yang ada di dunia maya. Belum lima menit aku menjelajah dunia maya, mataku tak kuat membuka sehingga ponsel yang ada di tanganku terjatuh dan aku pun tertidur.

Suara ayam berkokok mengusik mimpiku, membuatku terbangun dari mimpi panjang tadi malam. “ Astaga, udah jam lima … telat gue telat guee….” Aku langsung bangkit dari kasur langsung menyabet handuk dari gantungan pintu, langsung memasuki kamar mandi. Setengah jam aku bersiap. Selesai bersiap, aku langsung bertolak menuju Stasiun Gambir.

Pukul 06.45 aku tiba di Stasiun Gambir, Indah sudah berdiri gelisah dengan wajah kesal menunggu sejak tadi pagi buta.

“Lo ke mana aja sih … jam segini baru sampe ….” Sebelum Indah lebih murka padaku, aku menyurhnya untuk ikut antre masuk peron, kereta kita sudah bersiap di peron.

“Marahnya nanti aja, cepet antre sini, nanti kita telat gara-gara lo kelamaan marah sama gue ....” Aku menarik tangan Indah dan memasuki antrean menuju peron. Argo Dwipangga sudah menunggu kami sedari tadi. Jogja, aku datang.

 

 

Delapan jam sudah aku dan Indah tempuh untuk mencapai kota ini. Yogyakarta. Aku terbangun saat suara pemberitahuan bahwa kereta argo Dwipangga telah tiba di tujuan akhir, Stasiun Tugu, Yogyakarta. Sembari menunggu orang-orang berangsur turun dari gerbong, aku masih mengumpulkan nyawa, sementara Indah sudah siap dengan barang bawaannnya. “Bangun putri tidur, dari tadi tidur terus ... buruan bantuin gue angkatin barang-barang.” Tanpa membalas ocehan Indah, aku langsung bangkit lalu mengambil barang-barangku dan satu tas milik Indah. Kami berdua turun dari gerbong kereta, menghirup udara segar Yogyakarta.

***

Sudah empat hari aku berada di Yogyakarta, hari-hariku tak jauh berbeda seperti di Bogor, dari kosan ke kantor, dari kantor ke kafe, kembali lagi ke kantor, pulang ke kosan. Sama saja.

Di hari kelima, aku bangun lebih pagi dari yang biasanya, Indah masih terlelap di kasur yang berada hanya dua meter dari tempatku tidur. Aku merasakan ada yang aneh dengan diriku hari ini. Kuputuskan untuk bergegas mandi dan berwudu untuk menunaikan salat subuh. Selepas menunaikan kewajibanku dan meminta petunjuk lewat doa aku menyalakan ponsel yang sejak malam aku isi kembali dayanya. Setelah aku menyalakan mode data, ada puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan yang belum aku baca. Setelah aku melihat dengan saksama ternyata semua itu dari Arman. Hanya satu hal yang Arman tanyakan lewat pesan yang ia kirim, dan mungkin yang ia akan tanyakan lewat telepon. “Fotonya udah jadi belum, La?”

Saat itu juga aku baru teringat dengan foto yang dicetak di percetakan Kek Sarmin. Aku lupa mengambilnya. Sialnya lagi adalah flash disk yang berisi file foto itu tertinggal di percetakan Kek Sarmin. Aku langsung menghubungi Arman saat itu juga untuk meminta maaf atas kelalaian yang telah aku perbuat. Ketika itu juga pikiranku terfokus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Satu setengah jam aku keluar kosan untuk mencari sinyal agar bisa menghubungi Arman. Sial, sinyal di sini sedang tidak bagus karena sedang ada perbaikan jaringan di kota ini, yang berimbas kepada para pemakainya. Indah lalu menegurku, ia sudah siap menuju kantor dengan pakaian khas wanita karier, ia terheran melihat temannya berubah begitu cepat. “Lu mimpi apa semalem, La?” Indah hanya lewat saja dan berkata “ Gue duluan ke kantor ya La, gue tunggu di kantor.”

Aku berpindah mencari tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan sinyal agar bisa menghubungi Arman. Syahdan, sinyalnya sudah dapat. Aku coba menghubungi dirinya. Dua kali. Lima kali. Aku lihat jam di ponsel, ternyata sudah pukul setengah delapan. Pantas saja Arman tidak bisa dihubungi, ini sudah masuk jam kerja. Aku lantas kembali ke kosan untuk bersiap menuju kantor.

Dengan jantung yang berdebar, dan wajah yang mulai mengeluarkan peluh, aku berjalan memasuki gerbang kantor, sampai di depan front office aku kembali berpapasan dengan Indah. Ia terlihat sedang sibuk membawa berkas kantor yang bertumpuk di tangannya. Aku menuju ke meja tempatku bekerja, aku membuka laptop dan menyalakannya. Aku memutar musik dari laptop, suara indah Baskhara Putra berdendang indah, lewat lagunya bersama Rara Sekar, Membasuh. Aku menenagkan diri sejenak. Sekejap, aku menemukan cara untuk mengatasi ini. Aku akan pulang ke Bogor malam ini. Aku membuka situs pemesanan tiket online. Satu jam aku mencari tiket dan menyesuaikannya dengan perekonomianku. Syahdan, aku menemukan tiket yang terjangkau. Aku harus izin terlebih dulu kepada bosku sebelum aku kembali ke Bogor. Izin telah aku kantongi, tiket kereta sudah tinggal cetak, satu lagi yang perlu aku pastikan. Kegelisahan hati.

Tak bisa aku pungkiri, sejak kejadian tadi pagi, aku tidak bisa fokus untuk bekerja, bahkan saat membeli tiket kereta secara online saja, jemariku bergetar mengetik dan memilih tiket yang akan dibeli. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, tentunya bukan di kantor, aku bertolak menuju kedai kopi dekat sini. Filosofi Kopi.

Aku berjalan keluar kantor menuju kedai kopi, hanya setengah kilometer jika berjalan. Aku sempat berpapasan dengan seorang laki-laki yang tampaknya sedang terburu-buru, kepalanya tertunduk menggenggam ponsel miliknya. Apa daya, dia menabrakku, laki-laki itu tidak jatuh, tapi ada dua barang yang jatuh ke tanah. Nampaknya aku familier dengan salah satu dari barang yang terjatuh. Flash disk milik Arman. Aku cepat-cepat membungkuk dan mengambilnya, sang lelaki kalah cepat denganku mengambil barang yang terjatuh, apa daya, dia hanya mengambil barang yang satunya.

“Kok, flash disk ini ada sama masnya?” Aku bertanya menyelidik.

“Maaf, Mbak, flash disk ini punya ayah saya.” Dia menjawab dengan santun.

Aku mencoba beralih ke barang satu lagi yang ikut jatuh bersama flash disk. “ Kalo barang yang itu saya boleh lihat, nggak?” Barang di genggaman tangannya masih tertutup rapi dibalut oleh kertas abu-abu yang nampaknya akan di kirim melalui jasa ekspedisi barang.

“Boleh, Mbak, tapi bungkusnya jangan dibuka ya.” Dia memberikan barang itu padaku.

“Barang itu titpan ayah saya, mau dikirim ke Bogor, kalau nggak salah atas nama Ka—” Aku terkejut ketika dia hendak menyebutkan nama seseorang.

“Maksud kamu Kala?

“Iya, Mbak Kala yang ada di Bogor.” Aku langsung membuka kertas yang membungkus barang itu, dan benar saja, ini adalah foto yang aku cetak di percetakan Kek Sarmin.

“Ehh, Mbak ... jangan dibuka .…” Aku meneyelidik wajah lelaki yang menabrakku ini, wajahnya mirip sekali dengan wajah Kek Sarmin.

“Kamu anaknya Kek Sarmin, ya?” Aku langsung bertanya untuk memastikan bahwa lelaki ini adalah anaknya Kek Sarmin.

“Iya, saya Antara, anaknya Pak Sarmin.

“Kamu Kala ya, yang lima hari lalu mencetak foto di tempat percetakan ayah saya?”

Aku tergelak, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, jantungku sedikit menurunkan intensitas detaknya. Aku menghembuskan napas bersyukur dengan keajaiban yang terjadi. Antara memecah keheningan dengan bartanya kepadaku.

“Kalau memang kamu Kala yang dicari ayah saya, mau ikut ke rumah nggak, ayah nyariin kamu sejak di Bogor.”

“Boleh-boleh … Kek Sarmin nyariin saya?”

“Iya, Dia gelisah nyariin kamu, pesenan kamu belum diambil-ambil.”

Antara dan aku berbalik badan sebelum akhirnya kami berjalan menuju rumah Kek Sarmin. Belum mulai langkah pertama, seorang kakek tua berjalan ke arah kami, Kek Sarmin. Aku berlari ke arahnya lalu menyapanya, “Kek Sarmin, apa kabar?” Sambil mencium tangannya, Kek Sarmin bertanya, “ Nak Kala ke mana saja, kakek cariin semenjak di Bogor.” “Maaf, Kek, saya lupa ngambil fotonya di tempat kakek, eh terus saya ada tugas ke sini deh, baru inget tadi pagi.” Aku balas bertanya pada Kek Sarmin mengapa dirinya ada di Jogja, bukan di Bogor. “Tapi kok Kakek ada di sini, bukan di Bogor?” Kek Sarmin langsung menjawab dengan nada yang cukup menenangkan.

 “Jadi ceritanya begini, waktu di Bogor, setelah satu jam Nak Kala pergi, Kakek dapat panggilan dari keluarga besar untuk ke Jogja, malemnya, kakek sama Tara langsung berangkat naik mobil, rencananya besok mau pulang ke Bogor, tapi Kakek inget ada pesenan yang belum jadi, kebetulan flash disk-nya Nak Kala ketinggalan dan Kakek bawa ke sini, yaudah, tadi pagi dicetak fotonya, terus siang ini dikirim ke Bogor lewat ekspedisi, takut Nak Kala nyariin di Bogor. Eh, taunya Nak Kala-nya ada disini, dan kebetulan ketemu sama Tara yang mau antar fotonya ke jasa ekspedisi. Kakek tadianya mau nyusul Tara, ada yang ketinggalan, surat minta maaf dari Kakek buat Nak Kala.” Kek Sarmin memberikan suratnya padaku, bersamaan dengan ponselku yang bergetar.

“Terima Kasih Kek, sampai repot-repot buat surat ini untuk saya, saya jadi nggak enak.” Aku melihat layar di ponsel, tertera di layar, Arman.

“Harusnya aku yang minta maaf, jadi buat kakek gelisah gini…” Aku meminta maaf sekaligus berpamitan dengan Kek Sarmin dan Tara.

“Maaf banget, Kek, aku harus pamit duluan, mau ke Filosofi Kopi dulu, udah jam makan siang.”

“Kek Sarmin dan Mas Tara, saya izin pamit duluan ya ... makasih lho udah nganterin foto pesenanku jauh-jauh  ke sini.” Aku berkata sambil perlahan berjalan menjauhi mereka yang telah mengantarkan barang yang sempat membuat pagiku kacau. Seutas senyum dari bibir ayah dan anak itu seolah sabagai isyarat ucapan sama-sama yang tak terdengar olehku.

Aku menjawab panggilan dari Arman sambil berjalan menuju kedai kopi. Panggilan kedua Arman, setelah yang pertama tak terjawab olehku.

Halo, La?” Suara Arman terdengar dari ujung sana.

“Iya, Man … ada ap—” Arman langsung menanyakan perihal foto yang ia titipkan padaku.

“La, fotonya mana, gue tungguin dari kemarin, gue teleponin elu nggak elu angkat, gue chat juga nggak dibaca sama elu, ke mana aja sih elu La?

“Sabar…sabar, fotonya udah aman, udah gue ambil, besok gue kasih ke elu..”

“Elu di man—” Sial, suara Arman terputus, ponselku habis baterai.

Aku sudah sampai di kedai Filosofi Kopi, aku sedikit heran, mengapa kedai ini begitu berbeda, tampak dekorasi khas, pertanda akan ada acara yang berlangsung disini.

 Saat aku hendak memesan secangkir kopi, mataku terkaget, melihat lelaki yang ada di depanku, membelakangiku namun aku mengenai siapa dia. “Arman!!!!”

Arman menoleh ke arahku.  Ke mana aja lo, La, gue cariin dari kemarin.” Aku tidak memedulikan pertanyaan Arman, aku balik bertanya padanya.

“Kok elu ada di Jogja, emang reuninya di sini?” Arman menepuk keningnya, dia lupa memberitahuku satu hal.

“Astaga, gue lupa ngasih tau elu kalo reuni kita tuh di sini, di Filosofi Kopi Jogja.

“Gue juga baru tahu dari kantor pusat, kalo elu sama Indah lagi di Jogja, makannya tadi gue nelepon elu, mastiin kalo foto sama elunya ada di Jogja, eh, teleponnya putus.”

sorry-sorry tadi hape gue mati.”

Seketika itu juga, hujan turun membasahi Yogyakarta, sekaligus meluruhkan semua kekacauan hatiku sedari pagi sampai siang ini.   

***

Karya: Analogi Pagi

 

No comments:

Post a Comment

KETIKA HUJAN TURUN

  https://asset.kompas.com Sore itu di jalan O tista , Bogor,   seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia menjaga tempat percetakan ke...