https://www.mldspot.com/
“Mas, hot chocolatte-nya satu.”
“Baik,
Mbak.”
Aku
menarik kursi di sudut kedai ini dengan meja kecil yang akan menemaniku. Malam
ini temanku berjanji akan menemaniku di sini, di kedai yang tidak terlalu
populer di kotaku tinggal, walau kedai ini tidak sepopuler Starbucks atau
Coffee Bean yang biasa dikunjungi teman-temanku, tapi menu dan suasana di kedai
ini bisa dibilang tidak seburuk kedai-kedai francise yang merajalela
di kotaku tinggal lima tahun terakhir.
Konstelasi,
itulah nama kedai ini, kedai yang berlokasi
tidak jauh dari pusat kota yang dipenuhi dengan mall dan deretan gedung
pencakar langit. Kedai yang tidak terlalu besar untuk ukuran kedai kopi
sederhana dengan harga yang bersahabat, tapi juga tidak terlalu kecil untuk
menampung manusia-manusia urban yang membutuhkan asupan kafein dan membutuhkan
tempat untuk berkumpul. Sekilas nama kedai ini cukup unik dan sederhana, hanya
satu kata “konstelasi” tanpa menambahkan kata “kopi” di belakangnya. Lazimnya
dan kebanyakan kedai kopi di kota ini menggunakan kata “kopi” sebagai nama
sekaligus penegasan bahwa kedai tersebut merupakan sebuah kedai kopi.
Menu hot
chocolatte kurasa tepat untuk menemani pertemuanku dengan
temanku yang hanya membalas otw ketika kutanya udah
sampe mana lewat pesan Whatsapp. Walaupun ini adalah kedai
kopi, tetapi kedai ini tetap menawarkan menu non-kopi untuk orang-orang seperti
diriku yang bukanlah seorang pencinta kopi. Aku sempat bertanya-tanya soal ini
kepada diri sendiri dan teman-temanku yang begitu mencintai kopi. Apa
yang spesial dari kopi sehingga begitu banyak kedai kopi di kota ini dan banyak
orang yang rela meminum minuman pahit berwarna cokelat itu? Beberapa
temanku menjawab dengan filosofis bahwa kopi adalah simbol kebahagiaan, kopi
adalah sumber inspirasi yang memberikan nyawa pada karya yang mereka buat, tak ada
kopi, berarti tak ada inspirasi, begitlah teman-temanku
mengagungkan kopi. Bagiku, kopi hanyalah minuman pahit berwarna cokelat pekat —
ada juga yang berwarna hitam pekat, yang mengandung kafein dan di zaman ini
kopi adalah komoditas unggulan bagi negara-negara penghasil biji kopi seperti
Indonesia dan Brazil. Itu saja.
“Permisi,
ini hot
chocolatte pesanan, Mbaknya … selamat menikmati.”
“Terimakasih,
Mas.”
Hot chocolatte pesananku
sudah terhidang di atas meja kecil yang sebenarnya cukup untuk menampung dua
cangkir minuman. Sebelum aku menikmati minuman pesananku, terlebih dulu aku
menanyakan temanku yang katanya masih otw menuju ke sini.
Re, lu udah sampe mana? Gua udah pesen hot chocolatte, nih.
Sorry … sorry, nih … kayaknya gue nggak
jadi deh ke sana.
Lah, kenapa? Kok gitu, sih?
Ayolah, mengapa kejadian seperti ini selalu terulang kembali? Mengapa
setiap janji pertemuan denganku, teman-teman yang kuajak selalu berhalangan
datang setelah mengiyakannya? Seminggu lalu Pagi tidak jadi menemuiku karena
dirinya harus mengurus bisnisnya yang sedang jatuh-bangun, padahal sebelumnya
dia sudah excited dengan
ajakanku. Tiga hari lalu, Bintang mengabarkan kalau dirinya tiba-tiba ditelepon
bosnya untuk mengerjakan sebuah project besar di
perusahaan tempat ia bekerja, tepat setelah 30 menit kumenunggu di sebuah mall dekat
dengan kantor Bintang bekerja. Dan sekarang, apakah Sore akan membatalkannya
karena urusan pribadi?
Iya, nih … tadi cowok gue tiba-tiba
nelepon minta ketemuan buat nonton di bioskop … hehehehe … sorry, ya … lain
kali aja ketemuannya … cowok gue kayaknya nggak sabar bet pengen nonton berdua
sama gue … maafin ya, Lin.
Iya, iya … santai aja … salam ya buat cowok
lu, bilangin kalo ngajak ketemuan jangan tiba-tiba kek gini, wkwkwkw.
Oks.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit di sini, di kedai yang bisa
dibilang ramai pada malam hari, aku harus menerima kenyataan bahwa Sore tidak
jadi menemuiku di sini. Hot chocolatte pesananku
wajib kunikmati walau tidak akan ada percakapan yang menemani.
“Oh,
silakan, Mas … duduk aja di situ.”
Seorang
lelaki datang menghampiriku dengan membawa minuman pesanannya — tebakanku itu
adalah kopi tubruk karena aku mencium aroma kopi yang begitu kuat ketika dia
datang. Sekilas kulihat rambut lelaki ini yang cukup gondrong — rambutnya
menutupi telinganya dan dia hanya memakai kaus hitam dengan celana panjang
berwarna abu-abu dengan membawa tas jinjing yang digantungkan di lengan kirinya
— pasti dia anak indie.
“Pasti
dateng ke sini buat buat nulis puisi?” Aku menodongnya dengan pertanyaan sinis
dan khas stereotipe tentang anak indie.
“Bukan
nulis puisi, tapi nulis cerita.” Laki-laki itu sekilas melihat ke arahku lalu
dia melihat pakaian yang ia kenakan.
“Pasti
kamu ngira gue ini anak indie, ya?”
“Iya.
Nggak masalah, kan?”
“Enggak
masalah, udah sering, kok dikira anak indie sama orang-orang
karena tampilan gue kayak gini. Tampilan emang suka ngejebak, ya?”
“Lho,
kan memang itu fungsi dari penampilan, kan? Memberikan kesan pertama kepada
orang yang melihatnya.”
“Dan
kesan pertamamu ke gue adalah anak indie.”
“Of
course!” Aku tertawa karena kesan pertamaku terhadap laki-laki indie ini
tertebak secara cepat dan jelas.
Laki-laki indie yang
duduk di dekatku kemudian mengeluarkan notebook miliknya yang
ia pangku di atas kedua pahanya karena meja di depannya terlalu kecil dan sudah
ditempati oleh hot chocolatte-ku dan kopi tubruk pesanannya.
“Lu
pasti penulis profesional, ya?”
“Gue
cuma penulis biasa aja, belum jadi penulis profesional.”
“Cerita
apa, nih yang lagi lu tulis?”
“Belum
tahu, gue masih nyari inspirasi, ya siapatahu aja ketemu malem ini.”
“Oh
iya, tumben lu di sini sendiri, biasanya perempuan kalo dateng ke kedai
Konstelasi pada bawa temen, kayak orang yang duduk di deket bar sana.”
Laki-Laki Indie mengarahkan matanya ke meja yang tak jauh dari bar, tempat
transaksi dan peracikan semua menu di kedai ini.
“Harusnya
malam ini temen gua dateng ke sini, tapi ya, kayak biasa ….”
“Di-PHP-in,
ya?”
“Of
course.”
“Lebih
sakit di-PHP-in sama temen sendiri atau sama pasangan, nih?” Aku tertawa
mendengar pertanyaan si Laki-Laki Indie yang belum 10 menit kukenal ini.
“Sama
aja, sih … kan intinya sama-sama dibohongin, ingkar sama janji yang udah
dibuat.”
“Kalo
lu di-PHP-in, nih … apa yang akan lu lakuin?”
“Ya,
gue nggak akan ngapa-ngapain, gini-gini aja … lagian kelakuan orang juga nggak
bisa gue atur, ya … biarin aja.”
“Nggak
sakit hati, gitu?” Aku rasa dia memiliki masalah dengan hubungan
interpersonalnya, atau saking seringanya diberi harapan palsu oleh orang-orang
terdekatnya, membuat lelaki indie ini menjadi tahan
terhadap harapan palsu orang-orang.
“Ngapain
sakit hati, biarin aja yang kayak gitu, mending minum kopi aja atau nikmatin
pesenan yang udah dipesen, kalo di-PHP-in buat ketemuan kayak kamu.”
Si
laki-laki indie kemudian
mengambil gelas kopi di depannya, lalu dengan perlahan dia menghirup aroma yang
keluar dari dalam gelas kopi itu, dan sedikit demi sedikit kopi dari gelas yang
digenggamnya masuk ke dalam mulutnya. Dia lalu mengakhirinya dengan aahhh.
“Iya. Mau coba?”
“Eh, enggak-enggak, gua nggak suka kopi.”
“Kenapa nggak suka kopi?”
“Karena nggak manis.”
“Kan bisa ditambah gula.”
“Kalo kopinya ditambah gula gua suka, tapi kalo kopi tubruk kayak yang
lu minum itu gua nggak suka. Tapi gua jadi penasaran kenapa banyak orang yang
suka kopi pahit kayak yang lu minum itu?”
“Ya, jawabannya kurang lebih sama kalo gue tanya ke lu, kenapa lu suka
kopi yang rasanya manis?”
“Of
course karena rasanya enak di lidah, sama nggak ada rasa yang
nyangkut di tenggorokan abis diminum.”
“Nah, karena rasanya enak di lidah itulah yang bikin orang-orang suka
sama kopi yang rasanya pahit.”
“Tapi waktu gua nyoba minum kopi item sasetan punya bapak gua, pas gua
minum ada rasa yang nyangkut di tenggorokan dan itu nggak enak di gua.”
“Aftertaste,
rasa yang ketinggalan di tenggorokan abis kamu minum kopi. Rasanya macem-macem,
tiap biji kopi punya aftertaste yang beda,
tergantung proses penanamannya, ada yang rasanya fruity karena ditanem
deket pohon buah tertentu, misalnya jeruk, ya kayak gitu lah, tapi bukan
berarti rasanya berubah jadi manis pas diminum … cuma ada rasa-rasa buah aja.”
“Gua jadi ragu kalo lu cuma penulis biasa … lu ahli kopi, ya … pasti
pencinta kopi, nih?”
Si laki-laki indie tertawa sesaat
sebelum ia meminum kopi tubruknya. “Gue cuma penikmat kopi, nggak lebih, sama
ya gue cuma nulis kalo dapet ide aja, penulis bukan profesi utama gue saat ini
….”
“Tapi penjelasan lu dalem gitu, mana mungkin cuma penikmat biasa ….”
“Ya, terserah kamu aja menganggap gue ini apa, gue nggak bisa maksa, di
luar kontrol gue.” Dia menutup kalimatnya dengan seruputan khas peminum kopi
yang kudengar di kedai Konstelasi ini, sllurrp … ahhh.
Keramaian kedai Konstelasi turut menutup seruputan terakhir laki-laki indie di
sampingku yang sedang fokus pada notebook di pangkuannya,
sepertinya dia sedang fokus menulis cerita.
“Iya.”
“Biasanya kalo perempuan ngerencanain buat ketemuan pasti ada cerita
yang mau dibahas.”
“Of
course.”
Melihat cara dia bersikap dan mendengar jawaban serta pengamatannya
tentang perempuan, mungkin dia memiliki sudut pandang yang menarik terkait
ceritaku. Semoga saja … dan mari kucoba.
“Lu percaya sama yang namanya kebetulan, nggak?”
“Gue nggak percaya yang namanya kebetulan. Lu percaya sama itu?”
“Of
course gua percaya.”
“Kenapa?”
“Menurut gua, kebetulan itu indah dan unik. Dia bisa dateng kapan aja
dan di mana aja, tanpa tahu dan tanpa gua sadari, tapi sebenarnya kebetulan itu
adalah realitas yang disadari … unik, kan … Ya, bagi gua pertemuan dengan lu
itu adalah sebuah kebetulan, gua nggak tahu dan kehadiran lu di luar prediksi
gua, gua juga sebenernya sadar ketemu sama lu, tapi kedatangan lu ke sini itu
tanpa gua sadari. Banyak kejadian dalam hidup gua yang terjadi karena
kebetulan, dan dari realitas yang terjadi itu gua bersyukur karena kebetulan
gua ada di posisi itu yang akhirnya membawa gua pada
keberuntungan-keberuntungan yang bisa gua dapatkan.”
“Alasan kamu menarik juga, berarti kebetulan-kebetulan di hidup kamu
itu sangat berarti?
“Of
course, bagi gua itu sangat berarti, even itu adalah
kebetulan yang buruk, tapi ya, sekali lagi itu pasti ada maknanya bagi gua. Ya,
misalkan orang yang ada di posisi lu sekarang adalah pencopet yang mau nyopet
dompet gua, terus nggak lama setelah dia duduk, dompet gua diambil, dan
pencopet itu langsung kabur. Bagi gua itu adalah kebetulan yang buruk, gua
sadar realitasnya dompet gua diambil tapi tanpa disadari orang yang duduk di
samping gua adalah pencopet.”
“Kalo kejadiannya begitu, apa yang bisa kamu maknai, dong?”
“Simpel, sih … ya, itu berarti lain kali gua harus lebih waspada aja
sama orang asing di sekitar gua, dan lebih menjaga jarak aja biar kalo
kebetulan dia mau berbuat jahat, ya gua masih punya jarak buat menghindar dari
kejahatannya.”
“Kalo ternyata orangnya mau berbuat baik, dan bakal jadi kebetulan yang
baik, gimana dong?”
“Of
course gua juga punya jarak untuk perlahan mendekat, dan kalo
tiba-tiba orangnya berubah pikiran, tetep gua bisa langsung kabur.” Aku
mengakhiri kalimatku dengan tertawa lepas. Sungguh senang rasanya. Namun aku
masih penasaran karena si laki-laki indie tidak percaya
dengan kebetulan, agaknya dia punya alasan yang menarik tentang ini. Sungguh,
kepercayaan tentang kebetulan bisa jadi seperti kepercayaan tentang bumi datar
atau bulat, jika saja ada yang berbeda pandangan terkait perbedaan ini, mungkin
suatu saat nanti para ahli bahasa akan mengapus kata “kebetulan” dari kamus. Hahahahahaha.
“Kalo lu, kenapa nggak percaya sama kebetulan?”
Dia menyeruput kopi tubruknya terlebih dulu sebelum menjawab
pertanyaanku.
“Tentu karena segala yang terjadi sudah ada skenarionya, jadi tidak ada
yang namanya kebetulan. Gue hanya percaya bahwa itu cuma kata buat
mendeskripsikan keadaan yang nggak diprediksi dan disadari sama orang-orang,
tapi pada dasarnya semua kejadian di dunia ini bukanlah kebetulan.”
“So,
how?”
“Karena semua kejadian yang manusia alami pasti ada sebab-akibatnya,
makanya ketika anak SD belajar bahasa, mereka dikenalkan sama kata ‘karena’
supaya mereka tahu bahwa segala yang terjadi dalam hidup mereka itu ada
sebab-akibatnya, bisa dijelaskan mengapa itu terjadi.
“Ya, contohnya kayak pertemuan kamu dan gue sekarang. Ini bukan
kebetulan, karena gue ke sini buat minum kopi dan lu ke sini karena sebelumnya
udah ada janji sama temen buat ketemuan, tapi karena temen lu nggak bisa dateng
dan kondisi kedai Konstelasi yang rame sampe gue hampir nggak dapet tempat,
maka akhirnya kita ketemu di sini. So, semua alurnya udah jelas,
tertata rapi banget, dan even itu baik atau
buruk, menurut gue esensinya bukan di situ, tapi lebih ke proses panjang bin
rumit ini yang akhirnya membawa pada sebuah kejadian, yang orang-orang bilang
sebagai kebetulan.”
Damn, keren banget ni cowok, kayaknya dia
alumni jurusan filsafat UI, deh … muridnya Rocky Gerung … hahahahaha.
“Wow, keren banget alesan lu, jarang-jarang gua nemu orang yang mikirin
hal sepele sedetail itu.” Si laki-laki indie hanya tertawa
dengan elegan sambil menutup notebook-nya.
“Kamu terlalu berlebihan, itu masih pemikiran yang sederhana, belum
kompleks banget kayak anak-anak jurusan filsafat atau orang yang belajar fisika
kuantum.”
“Gua yakin pasti lu punya pemikiran tentang eksistensi manusia sampe
eksistensi alam semesta.”
“Nggak sampe sejauh itu, lah … itu mah kerjaannya Rocky Gerung sama
murid-muridnya buat mikir begituan, gue cuma curi-curi baca aja kalo soal
pemikiran filsafat atau eksistensi begituan, lumayan lah buat nambah-nambah
bahan tulisan gue.” Dia menjawab seraya tertawa geli, sepertinya pernyataan
pujianku cukup absurd dan terlampau jauh untuknya.
Dia lalu menyeruput kopi tubuknya untuk terakhir kali kemudian perlahan
berdiri dari tempat ia duduk.
“Gue pergi duluan, ya, udah malem … makasih banyak lho buat malem ini,
perspektif kamu tentang kebetulan juga keren. Oiya, kalo mau ketemuan lagi, gue
biasa ke Konstelasi tiap malem Minggu. Gue pamit duluan, ya ….”
“Ya, hati-hati di jalan, Mas ….”
Aku kembali mengunjungi kedai Konstelasi untuk mencoba menikmati kopi
hitam atau manual
brew, begitulah pihak kedai Konstelasi menyebutnya di buku menu.
Malam ini tidak seramai malam-malam Minggu sebelumnya, mungkin eksistensi kedai
Konstelasi mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain yang semakin
menjamur dengan strategi pemasaran yang ciamik di kota ini, entahlah, yang
penting aku bisa menikmati beberapa teguk manual brew malam ini.
“Mas, Kintamani satu, ya.” Pesanku pada sang barista, sepertinya kopi
Kintamani cocok untuk menemani malam Mingguku.
“Mau yang light atau bold, Mbak?”
“Light aja.”
“Berarti diseduh pake V60 aja ya, Mbak ….” Aku
mengangguk sebagai tanda mengiyakan permintaan sang barista.
Aku memutuskan untuk duduk di kursi dekat dengan bar kedai, sambil
memperhatikan bagaimana para barista menyeduh dan menyajikan beragam menu kopi
kepada konsumen mereka. Setelah aku memesan V60 Kintamani, aku
melihat secara perlahan orang-orang berdatangan ke kedai Konstelasi, mulai
menduduki kursi-kursi yang masih kosong dan memang menunggu untuk diduduki oleh
manusia-manusia yang ingin mengahabiskan malam Minggu dan menikmati menu kopi
di kedai Konstelasi. Tampaknya dugaanku tentang eksistensi kedai Konstelasi
yang mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain tidak sepenuhnya
benar.
“Silakan, Mbak, ini kopi pesanannya.”
“Terimakasih, Mas.”
Perlahan tapi pasti, kopi yang kupesan mulai masuk ke dalam mulutku,
kurasakan dengan lidahku, apakah benar yang waktu itu dikatakan oleh Laki-Laki
Indie tentang aftertaste kopi hitam, dan aku juga mencoba
menaklukkan lidahku yang cukup anti dengan minuman pahit, dengan menikmati V60 Kintamani
ini. Semoga tubuhku tidak menolak rasa pahit ini, ah, diriku terlalu lebay.
“Rasanya enak, ‘kan?”
Laki-laki indie tiba-tiba datang dari arah kiriku,
sejalan dengan pintu kedai Konstelasi yang saat ini terbuka lebar menyambut
para pengunjung yang datang. Ada apa dengan dirinya? Mengapa dia datang ke sini
lagi? Apakah ini sebuah kebetulan lagi?
“Eh, lu … pasti dateng ke sini buat nulis cerita lagi, ya?”
“Jawab dulu, dong pertanyaan gue, rasa kopinya enak, ‘kan?”
“Ya … pahit, sih ….”
“Oiya, cerita yang waktu itu gue bikin udah jadi, nih ….” Dia
menyerahkan koran yang terbit tadi pagi kepadaku, dia lalu menunjukkan kolom cerpen
kepadaku, kolom yang berada di pertengahan koran, setelah kolom ekonomi,
politik, humaniora, dan metropolitan. Ternyata dia mengirimkan cerita buatannya
kepada redaktur koran, sependek pengetahuanku, koran-koran edisi akhir pekan
memang menerbitkan cerita pendek yang biasanya ditulis oleh para cerpenis
andal, sebut saja Benny Arnas dan Ahmad Tohari yang namanya kerap kulihat di
koran edisi akhir pekan milik bapakku sewaktu aku SMA.
“Konstelasi Pertemuan. Jadi ini judul ceritanya?”
“Of
course.” Laki-laki indie mulai meniru
jawaban khasku.
“Makasih ya, udah menginspirasi gue buat nulis cerita itu, perspektif
kamu tentang kebetulan dan minuman manis jadi topik yang gue angkat di cerita
itu.”
“Mahesa Utara.” Ternyata itulah nama si laki-laki indie!
Setelah dua malam Minggu baru kutahu nama si lelaki indie ini, sang peminum
kopi tubruk yang tak percaya dengan kebetulan!
“Ya, itulah nama gue, panggil aja Tara, tapi kalo kamu mau manggil gue
Mahesa juga nggak masalah.”
“Lintang Selatan. Biasa dipanggil Lintang.”
Kami lalu berjabat tangan untuk perkenalan yang seharusnya dilakukan
sewaktu pertemuan kami yang pertama, pertemuan yang terjadi secara kebetulan —
bagiku, dan bagi Mahesa, tentu pertemuan dua malam Minggu lalu adalah bagian
dari hubungan sebab-akibat yang ciamik. Bagian dari skenario semesta yang
indah, bagaikan sebuah konstelasi.
Created by Muhammad Lutfi Subhan - Analogipagi
Terus menulis. Good
ReplyDelete