Tuesday, September 21, 2021

Konstelasi Pertemuan

                                                                        https://www.mldspot.com/
 


“Mas, hot chocolatte-nya satu.”

“Baik, Mbak.”

Aku menarik kursi di sudut kedai ini dengan meja kecil yang akan menemaniku. Malam ini temanku berjanji akan menemaniku di sini, di kedai yang tidak terlalu populer di kotaku tinggal, walau kedai ini tidak sepopuler Starbucks atau Coffee Bean yang biasa dikunjungi teman-temanku, tapi menu dan suasana di kedai ini bisa dibilang tidak seburuk kedai-kedai francise yang merajalela di kotaku tinggal lima tahun terakhir.

Konstelasi, itulah nama kedai ini, kedai yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota yang dipenuhi dengan mall dan deretan gedung pencakar langit. Kedai yang tidak terlalu besar untuk ukuran kedai kopi sederhana dengan harga yang bersahabat, tapi juga tidak terlalu kecil untuk menampung manusia-manusia urban yang membutuhkan asupan kafein dan membutuhkan tempat untuk berkumpul. Sekilas nama kedai ini cukup unik dan sederhana, hanya satu kata “konstelasi” tanpa menambahkan kata “kopi” di belakangnya. Lazimnya dan kebanyakan kedai kopi di kota ini menggunakan kata “kopi” sebagai nama sekaligus penegasan bahwa kedai tersebut merupakan sebuah kedai kopi.

Menu hot chocolatte kurasa tepat untuk menemani pertemuanku dengan temanku yang hanya membalas otw ketika kutanya udah sampe mana lewat pesan Whatsapp. Walaupun ini adalah kedai kopi, tetapi kedai ini tetap menawarkan menu non-kopi untuk orang-orang seperti diriku yang bukanlah seorang pencinta kopi. Aku sempat bertanya-tanya soal ini kepada diri sendiri dan teman-temanku yang begitu mencintai kopi. Apa yang spesial dari kopi sehingga begitu banyak kedai kopi di kota ini dan banyak orang yang rela meminum minuman pahit berwarna cokelat itu? Beberapa temanku menjawab dengan filosofis bahwa kopi adalah simbol kebahagiaan, kopi adalah sumber inspirasi yang memberikan nyawa pada karya yang mereka buat, tak ada kopi, berarti tak ada inspirasi, begitlah teman-temanku mengagungkan kopi. Bagiku, kopi hanyalah minuman pahit berwarna cokelat pekat — ada juga yang berwarna hitam pekat, yang mengandung kafein dan di zaman ini kopi adalah komoditas unggulan bagi negara-negara penghasil biji kopi seperti Indonesia dan Brazil. Itu saja.

“Permisi, ini hot chocolatte pesanan, Mbaknya … selamat menikmati.”

“Terimakasih, Mas.”

Hot chocolatte pesananku sudah terhidang di atas meja kecil yang sebenarnya cukup untuk menampung dua cangkir minuman. Sebelum aku menikmati minuman pesananku, terlebih dulu aku menanyakan temanku yang katanya masih otw menuju ke sini.

Re, lu udah sampe mana? Gua udah pesen hot chocolatte, nih.

Sorry … sorry, nih … kayaknya gue nggak jadi deh ke sana.

Lah, kenapa? Kok gitu, sih?

Ayolah, mengapa kejadian seperti ini selalu terulang kembali? Mengapa setiap janji pertemuan denganku, teman-teman yang kuajak selalu berhalangan datang setelah mengiyakannya? Seminggu lalu Pagi tidak jadi menemuiku karena dirinya harus mengurus bisnisnya yang sedang jatuh-bangun, padahal sebelumnya dia sudah excited dengan ajakanku. Tiga hari lalu, Bintang mengabarkan kalau dirinya tiba-tiba ditelepon bosnya untuk mengerjakan sebuah project besar di perusahaan tempat ia bekerja, tepat setelah 30 menit kumenunggu di sebuah mall dekat dengan kantor Bintang bekerja. Dan sekarang, apakah Sore akan membatalkannya karena urusan pribadi?

Iya, nih … tadi cowok gue tiba-tiba nelepon minta ketemuan buat nonton di bioskop … hehehehe … sorry, ya … lain kali aja ketemuannya … cowok gue kayaknya nggak sabar bet pengen nonton berdua sama gue … maafin ya, Lin.

Iya, iya … santai aja … salam ya buat cowok lu, bilangin kalo ngajak ketemuan jangan tiba-tiba kek gini, wkwkwkw.

Oks.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit di sini, di kedai yang bisa dibilang ramai pada malam hari, aku harus menerima kenyataan bahwa Sore tidak jadi menemuiku di sini. Hot chocolatte pesananku wajib kunikmati walau tidak akan ada percakapan yang menemani.

“Hai, boleh gue duduk di sini?”

“Oh, silakan, Mas … duduk aja di situ.”

Seorang lelaki datang menghampiriku dengan membawa minuman pesanannya — tebakanku itu adalah kopi tubruk karena aku mencium aroma kopi yang begitu kuat ketika dia datang. Sekilas kulihat rambut lelaki ini yang cukup gondrong — rambutnya menutupi telinganya dan dia hanya memakai kaus hitam dengan celana panjang berwarna abu-abu dengan membawa tas jinjing yang digantungkan di lengan kirinya — pasti dia anak indie.

“Pasti dateng ke sini buat buat nulis puisi?” Aku menodongnya dengan pertanyaan sinis dan khas stereotipe tentang anak indie.

“Bukan nulis puisi, tapi nulis cerita.” Laki-laki itu sekilas melihat ke arahku lalu dia melihat pakaian yang ia kenakan.

“Pasti kamu ngira gue ini anak indie, ya?”

“Iya. Nggak masalah, kan?”

“Enggak masalah, udah sering, kok dikira anak indie sama orang-orang karena tampilan gue kayak gini. Tampilan emang suka ngejebak, ya?”

“Lho, kan memang itu fungsi dari penampilan, kan? Memberikan kesan pertama kepada orang yang melihatnya.”

“Dan kesan pertamamu ke gue adalah anak indie.”

Of course!” Aku tertawa karena kesan pertamaku terhadap laki-laki indie ini tertebak secara cepat dan jelas.

Laki-laki indie yang duduk di dekatku kemudian mengeluarkan notebook miliknya yang ia pangku di atas kedua pahanya karena meja di depannya terlalu kecil dan sudah ditempati oleh hot chocolatte-ku dan kopi tubruk pesanannya.

“Lu pasti penulis profesional, ya?”

“Gue cuma penulis biasa aja, belum jadi penulis profesional.”

“Cerita apa, nih yang lagi lu tulis?”

“Belum tahu, gue masih nyari inspirasi, ya siapatahu aja ketemu malem ini.”

“Oh iya, tumben lu di sini sendiri, biasanya perempuan kalo dateng ke kedai Konstelasi pada bawa temen, kayak orang yang duduk di deket bar sana.” Laki-Laki Indie mengarahkan matanya ke meja yang tak jauh dari bar, tempat transaksi dan peracikan semua menu di kedai ini.

“Harusnya malam ini temen gua dateng ke sini, tapi ya, kayak biasa ….”

“Di-PHP-in, ya?”

Of course.”

“Lebih sakit di-PHP-in sama temen sendiri atau sama pasangan, nih?” Aku tertawa mendengar pertanyaan si Laki-Laki Indie yang belum 10 menit kukenal ini.

“Sama aja, sih … kan intinya sama-sama dibohongin, ingkar sama janji yang udah dibuat.”

“Kalo lu di-PHP-in, nih … apa yang akan lu lakuin?”

“Ya, gue nggak akan ngapa-ngapain, gini-gini aja … lagian kelakuan orang juga nggak bisa gue atur, ya … biarin aja.”

“Nggak sakit hati, gitu?” Aku rasa dia memiliki masalah dengan hubungan interpersonalnya, atau saking seringanya diberi harapan palsu oleh orang-orang terdekatnya, membuat lelaki indie ini menjadi tahan terhadap harapan palsu orang-orang.

“Ngapain sakit hati, biarin aja yang kayak gitu, mending minum kopi aja atau nikmatin pesenan yang udah dipesen, kalo di-PHP-in buat ketemuan kayak kamu.”

Si laki-laki indie kemudian mengambil gelas kopi di depannya, lalu dengan perlahan dia menghirup aroma yang keluar dari dalam gelas kopi itu, dan sedikit demi sedikit kopi dari gelas yang digenggamnya masuk ke dalam mulutnya. Dia lalu mengakhirinya dengan aahhh.

“Kopi tubruk, ya?”

“Iya. Mau coba?”

“Eh, enggak-enggak, gua nggak suka kopi.”

“Kenapa nggak suka kopi?”

“Karena nggak manis.”

“Kan bisa ditambah gula.”

“Kalo kopinya ditambah gula gua suka, tapi kalo kopi tubruk kayak yang lu minum itu gua nggak suka. Tapi gua jadi penasaran kenapa banyak orang yang suka kopi pahit kayak yang lu minum itu?”

“Ya, jawabannya kurang lebih sama kalo gue tanya ke lu, kenapa lu suka kopi yang rasanya manis?”

Of course karena rasanya enak di lidah, sama nggak ada rasa yang nyangkut di tenggorokan abis diminum.”

“Nah, karena rasanya enak di lidah itulah yang bikin orang-orang suka sama kopi yang rasanya pahit.”

“Tapi waktu gua nyoba minum kopi item sasetan punya bapak gua, pas gua minum ada rasa yang nyangkut di tenggorokan dan itu nggak enak di gua.”

Aftertaste, rasa yang ketinggalan di tenggorokan abis kamu minum kopi. Rasanya macem-macem, tiap biji kopi punya aftertaste yang beda, tergantung proses penanamannya, ada yang rasanya fruity karena ditanem deket pohon buah tertentu, misalnya jeruk, ya kayak gitu lah, tapi bukan berarti rasanya berubah jadi manis pas diminum … cuma ada rasa-rasa buah aja.”

“Gua jadi ragu kalo lu cuma penulis biasa … lu ahli kopi, ya … pasti pencinta kopi, nih?”

Si laki-laki indie tertawa sesaat sebelum ia meminum kopi tubruknya. “Gue cuma penikmat kopi, nggak lebih, sama ya gue cuma nulis kalo dapet ide aja, penulis bukan profesi utama gue saat ini ….”

“Tapi penjelasan lu dalem gitu, mana mungkin cuma penikmat biasa ….”

“Ya, terserah kamu aja menganggap gue ini apa, gue nggak bisa maksa, di luar kontrol gue.” Dia menutup kalimatnya dengan seruputan khas peminum kopi yang kudengar di kedai Konstelasi ini, sllurrp … ahhh.

Keramaian kedai Konstelasi turut menutup seruputan terakhir laki-laki indie di sampingku yang sedang fokus pada notebook di pangkuannya, sepertinya dia sedang fokus menulis cerita.

“Oiya, tadi kamu bilang kalo sebenernya kamu ke sini buat janjian sama temen kamu, ya?”

“Iya.”

“Biasanya kalo perempuan ngerencanain buat ketemuan pasti ada cerita yang mau dibahas.”

Of course.”

Melihat cara dia bersikap dan mendengar jawaban serta pengamatannya tentang perempuan, mungkin dia memiliki sudut pandang yang menarik terkait ceritaku. Semoga saja … dan mari kucoba.

“Lu percaya sama yang namanya kebetulan, nggak?”

“Gue nggak percaya yang namanya kebetulan. Lu percaya sama itu?”

Of course gua percaya.”

“Kenapa?”

“Menurut gua, kebetulan itu indah dan unik. Dia bisa dateng kapan aja dan di mana aja, tanpa tahu dan tanpa gua sadari, tapi sebenarnya kebetulan itu adalah realitas yang disadari … unik, kan … Ya, bagi gua pertemuan dengan lu itu adalah sebuah kebetulan, gua nggak tahu dan kehadiran lu di luar prediksi gua, gua juga sebenernya sadar ketemu sama lu, tapi kedatangan lu ke sini itu tanpa gua sadari. Banyak kejadian dalam hidup gua yang terjadi karena kebetulan, dan dari realitas yang terjadi itu gua bersyukur karena kebetulan gua ada di posisi itu yang akhirnya membawa gua pada keberuntungan-keberuntungan yang bisa gua dapatkan.”

“Alasan kamu menarik juga, berarti kebetulan-kebetulan di hidup kamu itu sangat berarti?

Of course, bagi gua itu sangat berarti, even itu adalah kebetulan yang buruk, tapi ya, sekali lagi itu pasti ada maknanya bagi gua. Ya, misalkan orang yang ada di posisi lu sekarang adalah pencopet yang mau nyopet dompet gua, terus nggak lama setelah dia duduk, dompet gua diambil, dan pencopet itu langsung kabur. Bagi gua itu adalah kebetulan yang buruk, gua sadar realitasnya dompet gua diambil tapi tanpa disadari orang yang duduk di samping gua adalah pencopet.”

“Kalo kejadiannya begitu, apa yang bisa kamu maknai, dong?”

“Simpel, sih … ya, itu berarti lain kali gua harus lebih waspada aja sama orang asing di sekitar gua, dan lebih menjaga jarak aja biar kalo kebetulan dia mau berbuat jahat, ya gua masih punya jarak buat menghindar dari kejahatannya.”

“Kalo ternyata orangnya mau berbuat baik, dan bakal jadi kebetulan yang baik, gimana dong?”

Of course gua juga punya jarak untuk perlahan mendekat, dan kalo tiba-tiba orangnya berubah pikiran, tetep gua bisa langsung kabur.” Aku mengakhiri kalimatku dengan tertawa lepas. Sungguh senang rasanya. Namun aku masih penasaran karena si laki-laki indie tidak percaya dengan kebetulan, agaknya dia punya alasan yang menarik tentang ini. Sungguh, kepercayaan tentang kebetulan bisa jadi seperti kepercayaan tentang bumi datar atau bulat, jika saja ada yang berbeda pandangan terkait perbedaan ini, mungkin suatu saat nanti para ahli bahasa akan mengapus kata “kebetulan” dari kamus. Hahahahahaha.

“Kalo lu, kenapa nggak percaya sama kebetulan?”

Dia menyeruput kopi tubruknya terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku.

“Tentu karena segala yang terjadi sudah ada skenarionya, jadi tidak ada yang namanya kebetulan. Gue hanya percaya bahwa itu cuma kata buat mendeskripsikan keadaan yang nggak diprediksi dan disadari sama orang-orang, tapi pada dasarnya semua kejadian di dunia ini bukanlah kebetulan.”

So, how?”

“Karena semua kejadian yang manusia alami pasti ada sebab-akibatnya, makanya ketika anak SD belajar bahasa, mereka dikenalkan sama kata ‘karena’ supaya mereka tahu bahwa segala yang terjadi dalam hidup mereka itu ada sebab-akibatnya, bisa dijelaskan mengapa itu terjadi.

“Ya, contohnya kayak pertemuan kamu dan gue sekarang. Ini bukan kebetulan, karena gue ke sini buat minum kopi dan lu ke sini karena sebelumnya udah ada janji sama temen buat ketemuan, tapi karena temen lu nggak bisa dateng dan kondisi kedai Konstelasi yang rame sampe gue hampir nggak dapet tempat, maka akhirnya kita ketemu di sini. So, semua alurnya udah jelas, tertata rapi banget, dan even itu baik atau buruk, menurut gue esensinya bukan di situ, tapi lebih ke proses panjang bin rumit ini yang akhirnya membawa pada sebuah kejadian, yang orang-orang bilang sebagai kebetulan.”

Damn, keren banget ni cowok, kayaknya dia alumni jurusan filsafat UI, deh … muridnya Rocky Gerung … hahahahaha.

“Wow, keren banget alesan lu, jarang-jarang gua nemu orang yang mikirin hal sepele sedetail itu.” Si laki-laki indie hanya tertawa dengan elegan sambil menutup notebook-nya.

“Kamu terlalu berlebihan, itu masih pemikiran yang sederhana, belum kompleks banget kayak anak-anak jurusan filsafat atau orang yang belajar fisika kuantum.”

“Gua yakin pasti lu punya pemikiran tentang eksistensi manusia sampe eksistensi alam semesta.”

“Nggak sampe sejauh itu, lah … itu mah kerjaannya Rocky Gerung sama murid-muridnya buat mikir begituan, gue cuma curi-curi baca aja kalo soal pemikiran filsafat atau eksistensi begituan, lumayan lah buat nambah-nambah bahan tulisan gue.” Dia menjawab seraya tertawa geli, sepertinya pernyataan pujianku cukup absurd dan terlampau jauh untuknya.

Dia lalu menyeruput kopi tubuknya untuk terakhir kali kemudian perlahan berdiri dari tempat ia duduk.

“Gue pergi duluan, ya, udah malem … makasih banyak lho buat malem ini, perspektif kamu tentang kebetulan juga keren. Oiya, kalo mau ketemuan lagi, gue biasa ke Konstelasi tiap malem Minggu. Gue pamit duluan, ya ….”

“Ya, hati-hati di jalan, Mas ….”

Setelah dua malam Minggu

Aku kembali mengunjungi kedai Konstelasi untuk mencoba menikmati kopi hitam atau manual brew, begitulah pihak kedai Konstelasi menyebutnya di buku menu. Malam ini tidak seramai malam-malam Minggu sebelumnya, mungkin eksistensi kedai Konstelasi mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain yang semakin menjamur dengan strategi pemasaran yang ciamik di kota ini, entahlah, yang penting aku bisa menikmati beberapa teguk manual brew malam ini.

“Mas, Kintamani satu, ya.” Pesanku pada sang barista, sepertinya kopi Kintamani cocok untuk menemani malam Mingguku.

“Mau yang light atau bold, Mbak?”

Light aja.”

“Berarti diseduh pake V60 aja ya, Mbak ….” Aku mengangguk sebagai tanda mengiyakan permintaan sang barista.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi dekat dengan bar kedai, sambil memperhatikan bagaimana para barista menyeduh dan menyajikan beragam menu kopi kepada konsumen mereka. Setelah aku memesan V60 Kintamani, aku melihat secara perlahan orang-orang berdatangan ke kedai Konstelasi, mulai menduduki kursi-kursi yang masih kosong dan memang menunggu untuk diduduki oleh manusia-manusia yang ingin mengahabiskan malam Minggu dan menikmati menu kopi di kedai Konstelasi. Tampaknya dugaanku tentang eksistensi kedai Konstelasi yang mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain tidak sepenuhnya benar.

“Silakan, Mbak, ini kopi pesanannya.”

“Terimakasih, Mas.”

Perlahan tapi pasti, kopi yang kupesan mulai masuk ke dalam mulutku, kurasakan dengan lidahku, apakah benar yang waktu itu dikatakan oleh Laki-Laki Indie tentang aftertaste kopi hitam, dan aku juga mencoba menaklukkan lidahku yang cukup anti dengan minuman pahit, dengan menikmati V60 Kintamani ini. Semoga tubuhku tidak menolak rasa pahit ini, ah, diriku terlalu lebay.

“Rasanya enak, ‘kan?”

Laki-laki indie tiba-tiba datang dari arah kiriku, sejalan dengan pintu kedai Konstelasi yang saat ini terbuka lebar menyambut para pengunjung yang datang. Ada apa dengan dirinya? Mengapa dia datang ke sini lagi? Apakah ini sebuah kebetulan lagi?

“Eh, lu … pasti dateng ke sini buat nulis cerita lagi, ya?”

“Jawab dulu, dong pertanyaan gue, rasa kopinya enak, ‘kan?”

“Ya … pahit, sih ….”

“Oiya, cerita yang waktu itu gue bikin udah jadi, nih ….” Dia menyerahkan koran yang terbit tadi pagi kepadaku, dia lalu menunjukkan kolom cerpen kepadaku, kolom yang berada di pertengahan koran, setelah kolom ekonomi, politik, humaniora, dan metropolitan. Ternyata dia mengirimkan cerita buatannya kepada redaktur koran, sependek pengetahuanku, koran-koran edisi akhir pekan memang menerbitkan cerita pendek yang biasanya ditulis oleh para cerpenis andal, sebut saja Benny Arnas dan Ahmad Tohari yang namanya kerap kulihat di koran edisi akhir pekan milik bapakku sewaktu aku SMA.

“Konstelasi Pertemuan. Jadi ini judul ceritanya?”

Of course.” Laki-laki indie mulai meniru jawaban khasku.

“Makasih ya, udah menginspirasi gue buat nulis cerita itu, perspektif kamu tentang kebetulan dan minuman manis jadi topik yang gue angkat di cerita itu.”

“Mahesa Utara.” Ternyata itulah nama si laki-laki indie! Setelah dua malam Minggu baru kutahu nama si lelaki indie ini, sang peminum kopi tubruk yang tak percaya dengan kebetulan!

“Ya, itulah nama gue, panggil aja Tara, tapi kalo kamu mau manggil gue Mahesa juga nggak masalah.”

“Lintang Selatan. Biasa dipanggil Lintang.”

Kami lalu berjabat tangan untuk perkenalan yang seharusnya dilakukan sewaktu pertemuan kami yang pertama, pertemuan yang terjadi secara kebetulan — bagiku, dan bagi Mahesa, tentu pertemuan dua malam Minggu lalu adalah bagian dari hubungan sebab-akibat yang ciamik. Bagian dari skenario semesta yang indah, bagaikan sebuah konstelasi.

Created by Muhammad Lutfi Subhan - Analogipagi

1 comment:

KETIKA HUJAN TURUN

  https://asset.kompas.com Sore itu di jalan O tista , Bogor,   seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia menjaga tempat percetakan ke...