Sunday, September 26, 2021

KETIKA HUJAN TURUN

 

https://asset.kompas.com

Sore itu di jalan Otista, Bogor,  seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia menjaga tempat percetakan kecil miliknya yang diwariskan dari sang bapak.

 Tempat ini sudah ada sejak bapak saya masih lajang, beliau membuka tempat ini karena sang pujaan hati (Ibuku) sedang disibukkan dengan skripsinya yang sudah selesai, dan siap untuk dicetak. Ibuku yang waktu itu sedang kebingungan mencari tempat untuk mencetak skripsinya, lantas bertanya kepada bapak, di mana tempat yang bisa mencetak skripsi dengan harga yang sesuai dengan kantong anak kuliahan. Tanpa pikir panjang, bapak sontak menjawab bahwa dia memiliki tempat percetakan yang bisa mencetak skripsi buatan ibu. Selepas ibu menyetujui tawaran bapak, bapak segera menuju tempat di mana ia membuka tempat percetakan ini. Dahulu tempat ini difungsikan sebagai toko kelontong milik kakekku sebelum akhirnya ditutup karena bangkrut dan diberikan pada bapak sebagai warisan sebelum kakek meninggal dunia. Keesokan harinya bapak langsung membeli semua peralatan untuk membuat tempat percetakan dan langsung menyulap bekas toko kelontong itu dalam semalam suntuk. Ibu-lah yang menjadi pelanggan pertama yang datang dan mencetak skripsinya di toko percetakan kecil milik bapak yang dibuat dalam waktu 24 jam. Dengan dalih sebagai pelanggan pertama, maka bapak menggratiskan ongkos cetak skripsi untuk ibu yang sebenarnya adalah sebuah modal dusta bapak. Setelah skripsi ibu dicetak dan ibu meraih gelar sarjananya, bapak memberanikan diri untuk mengakui bahwa  tempat percetakan kecil itu memang khusus dibuat untuk mencetak skripsi milik ibu agar ia tak mencetaknya di tempat percetakan yang lain. Ibu tergelak saat bapak selesai membuat pengakuan kepadanya dan saat itu juga, ibu yakin bahwa bapaklah pilihan yang tepat untuk mendampinginya mengarungi masa depan yang menanti di depan mata. Singkat cerita, bapak lalu menikahi ibu dan memulai babak baru sebagai Founder dan Co-Founder tempat percetakan kecil pertama di jalan Otista. Bapak meninggal sepuluh tahun lalu saat sedang mencetak skripsi seorang mahasiswi Universitas Pakuan. Setelah bapak berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa, saya lantas mengambil alih posisi bapak bersama adikku, Sarman yang menggantikan takhta ibu sebagai co-founder. Walaupun kini sudah bermunculan tempat percetakan lain yang lebih modern, tempat ini tetap akan menjadi tempat percetakan pertama di jalan Otista sekaligus menjadi saksi bisu kisah cinta dua sejoli yang memulai cintanya di tempat percetakan kecil ini.”

Sudah lima tahun lalu aku mendengar cerita itu terucap dari lisan Kek Sarmin yang kala itu hujan sedang deras-derasnya turun membasahi kota hujan yang merindukan turunnya hujan. Itu pun sebuah ketidaksengajaan karena hujan yang turun. Aku yang sedang asyik menjejaki trotoar Otista, dikagetkan dengan petir yang menggelagar, diikuti hujan lebat yang turun selama satu jam lamanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung meneduh di sebuah percetakan kecil tua milik Kek Sarmin.  Kebetulan aku yang sedang membawa file foto untuk dicetak, langsung memberikannya pada Kek Sarmin, dan karena hujan belum kunjung reda, Kek Sarmin mendobrak hening dengan bercerita tentang sejarah tempat percetakan kecil miliknya.

Angkot-angkot hijau selalu menghiasi hari-hariku di kota hujan ini, terlebih jika jam pulang kantor yang selalu dipadati ribuan kendaraan yang berebut jalanan menuju rumah masing-masing. Aku lebih senang berjalan dari kantor menuju rumah, selain lebih hemat ongkos, aku juga bisa menikmati indahnya sore hari ditengah padatnya kota hujan.

Sebelum aku beranjak dari kantor, Arman, salah satu rekanku di kantor, yang juga merupakan teman satu sekolah semasa SMA meminta bantuanku untuk mencetakkan foto angkatan SMA kami, katanya seminggu lagi akan ada reuni SMA angkatan kami.

“Kala, gue mau minta tolong cetakin foto angkatan kita, buat reuni satu minggu lagi.”

“Boleh, buat reuni, ya?  Mau dicetak ukuran berapa?”

“ Ukuran 20x40.” Arman lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan sebuah flash disk di mejaku.

“Nama file­-nya Reuni SMA, ada di folder SMA….” Suara Arman menghilang, sejalan dengan dia yang pergi menjauh dari mejaku. Dirinya masih disibukkan dengan tugas kantor yang tak kunjung usai. Baiklah, hari ini aku akan kembali berkunjung ke tempat percetakan pertama di jalan Otista, milik seorang kakek tua, Kek Sarmin.

“Selamat sore, Kek … apa kabarnya, Kek?”

“Sore, Nak Kala, kabar baik, udah lama nggak mampir ke sini ....” Kek Sarmin tersadar dari lamunannya.

“Mau cetak foto, Nak Kala?” Kek Sarmin bertanya memastikan.

“Iya, Kek, foto SMA, ukurannya 20x40 ya, Kek ,…” Aku menyerahkan flash disk yang berisi file untuk dicetak.

“Foto yang mau dicetak ada di folder SMA, nama file-nya Reuni SMA.” Aku sedikit melongok ke arah komputer untuk memastikan bahwa file yang akan dicetak tidak salah. Tak lama setelah aku menarik kursi untuk duduk menunggu foto dicetak, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku.

“Kala, kamu besok ikut aku, kita ditugaskan untuk pergi ke Pancoran, Jakarta. Kantor cabang di sana lagi butuh bantuan kita. Nggak lama, kok, cuma seminggu.” Pesan itu datang dari Indah, atasanku yang juga temanku di kantor.

“Kek, kira-kira nyetak fotonya berapa lama lagi ya?”

“Baru juga transfer file, Nak, yaaa ... kira-kira satu setengah jam baru bisa diambil.”

Aku melihat jam di tangan, pukul lima lewat seperempat. Aku tidak mungkin menunggu sampai foto itu jadi. Waktuku bisa terbuang sia-sia. Lebih baik aku pulang untuk packing keperluan selama di Jakarta.

“Kek, aku pamit pulang dulu ya… nanti malam aku ke sini lagi buat ngambil fotonya.” Aku bergegas meninggalkan tempat percetakan.

“Hati-hati, Nak…” suara Kek Sarmin terdengar samar, berbarengan dengan deru knalpot kendaraan bermotor yang berhamburan di jalanan.

Setibanya di kosan, aku langsung menurunkan koper dari atas lemari dan mencari serta melipat baju-baju untuk seminggu ke depan. Lima menit aku fokus dengan baju dan koper, ponselku bergetar, menandakan ada panggilan telepon masuk. Aku mengambil ponselku di atas kasur yang penuh dengan baju untuk kubawa besok. Dari Indah.

“Halo, ada apa, Ndah?”

“Halo, La, informasi baru, kita besok nggak jadi ke Jakarta, kita jadinya pergi ke Jogja. Ternyata yang lebih butuh bantuan kita itu kantor cabang Jogja, bukan Jakarta. Besok ketemu di Gambir, yaa… kereta jam tujuh pagi….. see you…”

Aku harus segera merapikan perlengkapan untuk besok sebelum malam tiba. Aku merasa sangat lelah, jadi aku putuskan untuk beristirahat malam ini, tidak digunakan untuk terhanyut dalam drama Korea yang biasa aku tonton kala malam menyelimuti. Akhirnya selesai, semua perlengkapan untuk satu minggu di Jogja sudah aku masukkan ke dalam koper berukuran sedang. Aku mengempaskan tubuhku ke atas kasur, menyalakan ponsel, dan melihat-lihat sebentar apa yang ada di dunia maya. Belum lima menit aku menjelajah dunia maya, mataku tak kuat membuka sehingga ponsel yang ada di tanganku terjatuh dan aku pun tertidur.

Suara ayam berkokok mengusik mimpiku, membuatku terbangun dari mimpi panjang tadi malam. “ Astaga, udah jam lima … telat gue telat guee….” Aku langsung bangkit dari kasur langsung menyabet handuk dari gantungan pintu, langsung memasuki kamar mandi. Setengah jam aku bersiap. Selesai bersiap, aku langsung bertolak menuju Stasiun Gambir.

Pukul 06.45 aku tiba di Stasiun Gambir, Indah sudah berdiri gelisah dengan wajah kesal menunggu sejak tadi pagi buta.

“Lo ke mana aja sih … jam segini baru sampe ….” Sebelum Indah lebih murka padaku, aku menyurhnya untuk ikut antre masuk peron, kereta kita sudah bersiap di peron.

“Marahnya nanti aja, cepet antre sini, nanti kita telat gara-gara lo kelamaan marah sama gue ....” Aku menarik tangan Indah dan memasuki antrean menuju peron. Argo Dwipangga sudah menunggu kami sedari tadi. Jogja, aku datang.

 

 

Delapan jam sudah aku dan Indah tempuh untuk mencapai kota ini. Yogyakarta. Aku terbangun saat suara pemberitahuan bahwa kereta argo Dwipangga telah tiba di tujuan akhir, Stasiun Tugu, Yogyakarta. Sembari menunggu orang-orang berangsur turun dari gerbong, aku masih mengumpulkan nyawa, sementara Indah sudah siap dengan barang bawaannnya. “Bangun putri tidur, dari tadi tidur terus ... buruan bantuin gue angkatin barang-barang.” Tanpa membalas ocehan Indah, aku langsung bangkit lalu mengambil barang-barangku dan satu tas milik Indah. Kami berdua turun dari gerbong kereta, menghirup udara segar Yogyakarta.

***

Sudah empat hari aku berada di Yogyakarta, hari-hariku tak jauh berbeda seperti di Bogor, dari kosan ke kantor, dari kantor ke kafe, kembali lagi ke kantor, pulang ke kosan. Sama saja.

Di hari kelima, aku bangun lebih pagi dari yang biasanya, Indah masih terlelap di kasur yang berada hanya dua meter dari tempatku tidur. Aku merasakan ada yang aneh dengan diriku hari ini. Kuputuskan untuk bergegas mandi dan berwudu untuk menunaikan salat subuh. Selepas menunaikan kewajibanku dan meminta petunjuk lewat doa aku menyalakan ponsel yang sejak malam aku isi kembali dayanya. Setelah aku menyalakan mode data, ada puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan yang belum aku baca. Setelah aku melihat dengan saksama ternyata semua itu dari Arman. Hanya satu hal yang Arman tanyakan lewat pesan yang ia kirim, dan mungkin yang ia akan tanyakan lewat telepon. “Fotonya udah jadi belum, La?”

Saat itu juga aku baru teringat dengan foto yang dicetak di percetakan Kek Sarmin. Aku lupa mengambilnya. Sialnya lagi adalah flash disk yang berisi file foto itu tertinggal di percetakan Kek Sarmin. Aku langsung menghubungi Arman saat itu juga untuk meminta maaf atas kelalaian yang telah aku perbuat. Ketika itu juga pikiranku terfokus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Satu setengah jam aku keluar kosan untuk mencari sinyal agar bisa menghubungi Arman. Sial, sinyal di sini sedang tidak bagus karena sedang ada perbaikan jaringan di kota ini, yang berimbas kepada para pemakainya. Indah lalu menegurku, ia sudah siap menuju kantor dengan pakaian khas wanita karier, ia terheran melihat temannya berubah begitu cepat. “Lu mimpi apa semalem, La?” Indah hanya lewat saja dan berkata “ Gue duluan ke kantor ya La, gue tunggu di kantor.”

Aku berpindah mencari tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan sinyal agar bisa menghubungi Arman. Syahdan, sinyalnya sudah dapat. Aku coba menghubungi dirinya. Dua kali. Lima kali. Aku lihat jam di ponsel, ternyata sudah pukul setengah delapan. Pantas saja Arman tidak bisa dihubungi, ini sudah masuk jam kerja. Aku lantas kembali ke kosan untuk bersiap menuju kantor.

Dengan jantung yang berdebar, dan wajah yang mulai mengeluarkan peluh, aku berjalan memasuki gerbang kantor, sampai di depan front office aku kembali berpapasan dengan Indah. Ia terlihat sedang sibuk membawa berkas kantor yang bertumpuk di tangannya. Aku menuju ke meja tempatku bekerja, aku membuka laptop dan menyalakannya. Aku memutar musik dari laptop, suara indah Baskhara Putra berdendang indah, lewat lagunya bersama Rara Sekar, Membasuh. Aku menenagkan diri sejenak. Sekejap, aku menemukan cara untuk mengatasi ini. Aku akan pulang ke Bogor malam ini. Aku membuka situs pemesanan tiket online. Satu jam aku mencari tiket dan menyesuaikannya dengan perekonomianku. Syahdan, aku menemukan tiket yang terjangkau. Aku harus izin terlebih dulu kepada bosku sebelum aku kembali ke Bogor. Izin telah aku kantongi, tiket kereta sudah tinggal cetak, satu lagi yang perlu aku pastikan. Kegelisahan hati.

Tak bisa aku pungkiri, sejak kejadian tadi pagi, aku tidak bisa fokus untuk bekerja, bahkan saat membeli tiket kereta secara online saja, jemariku bergetar mengetik dan memilih tiket yang akan dibeli. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, tentunya bukan di kantor, aku bertolak menuju kedai kopi dekat sini. Filosofi Kopi.

Aku berjalan keluar kantor menuju kedai kopi, hanya setengah kilometer jika berjalan. Aku sempat berpapasan dengan seorang laki-laki yang tampaknya sedang terburu-buru, kepalanya tertunduk menggenggam ponsel miliknya. Apa daya, dia menabrakku, laki-laki itu tidak jatuh, tapi ada dua barang yang jatuh ke tanah. Nampaknya aku familier dengan salah satu dari barang yang terjatuh. Flash disk milik Arman. Aku cepat-cepat membungkuk dan mengambilnya, sang lelaki kalah cepat denganku mengambil barang yang terjatuh, apa daya, dia hanya mengambil barang yang satunya.

“Kok, flash disk ini ada sama masnya?” Aku bertanya menyelidik.

“Maaf, Mbak, flash disk ini punya ayah saya.” Dia menjawab dengan santun.

Aku mencoba beralih ke barang satu lagi yang ikut jatuh bersama flash disk. “ Kalo barang yang itu saya boleh lihat, nggak?” Barang di genggaman tangannya masih tertutup rapi dibalut oleh kertas abu-abu yang nampaknya akan di kirim melalui jasa ekspedisi barang.

“Boleh, Mbak, tapi bungkusnya jangan dibuka ya.” Dia memberikan barang itu padaku.

“Barang itu titpan ayah saya, mau dikirim ke Bogor, kalau nggak salah atas nama Ka—” Aku terkejut ketika dia hendak menyebutkan nama seseorang.

“Maksud kamu Kala?

“Iya, Mbak Kala yang ada di Bogor.” Aku langsung membuka kertas yang membungkus barang itu, dan benar saja, ini adalah foto yang aku cetak di percetakan Kek Sarmin.

“Ehh, Mbak ... jangan dibuka .…” Aku meneyelidik wajah lelaki yang menabrakku ini, wajahnya mirip sekali dengan wajah Kek Sarmin.

“Kamu anaknya Kek Sarmin, ya?” Aku langsung bertanya untuk memastikan bahwa lelaki ini adalah anaknya Kek Sarmin.

“Iya, saya Antara, anaknya Pak Sarmin.

“Kamu Kala ya, yang lima hari lalu mencetak foto di tempat percetakan ayah saya?”

Aku tergelak, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, jantungku sedikit menurunkan intensitas detaknya. Aku menghembuskan napas bersyukur dengan keajaiban yang terjadi. Antara memecah keheningan dengan bartanya kepadaku.

“Kalau memang kamu Kala yang dicari ayah saya, mau ikut ke rumah nggak, ayah nyariin kamu sejak di Bogor.”

“Boleh-boleh … Kek Sarmin nyariin saya?”

“Iya, Dia gelisah nyariin kamu, pesenan kamu belum diambil-ambil.”

Antara dan aku berbalik badan sebelum akhirnya kami berjalan menuju rumah Kek Sarmin. Belum mulai langkah pertama, seorang kakek tua berjalan ke arah kami, Kek Sarmin. Aku berlari ke arahnya lalu menyapanya, “Kek Sarmin, apa kabar?” Sambil mencium tangannya, Kek Sarmin bertanya, “ Nak Kala ke mana saja, kakek cariin semenjak di Bogor.” “Maaf, Kek, saya lupa ngambil fotonya di tempat kakek, eh terus saya ada tugas ke sini deh, baru inget tadi pagi.” Aku balas bertanya pada Kek Sarmin mengapa dirinya ada di Jogja, bukan di Bogor. “Tapi kok Kakek ada di sini, bukan di Bogor?” Kek Sarmin langsung menjawab dengan nada yang cukup menenangkan.

 “Jadi ceritanya begini, waktu di Bogor, setelah satu jam Nak Kala pergi, Kakek dapat panggilan dari keluarga besar untuk ke Jogja, malemnya, kakek sama Tara langsung berangkat naik mobil, rencananya besok mau pulang ke Bogor, tapi Kakek inget ada pesenan yang belum jadi, kebetulan flash disk-nya Nak Kala ketinggalan dan Kakek bawa ke sini, yaudah, tadi pagi dicetak fotonya, terus siang ini dikirim ke Bogor lewat ekspedisi, takut Nak Kala nyariin di Bogor. Eh, taunya Nak Kala-nya ada disini, dan kebetulan ketemu sama Tara yang mau antar fotonya ke jasa ekspedisi. Kakek tadianya mau nyusul Tara, ada yang ketinggalan, surat minta maaf dari Kakek buat Nak Kala.” Kek Sarmin memberikan suratnya padaku, bersamaan dengan ponselku yang bergetar.

“Terima Kasih Kek, sampai repot-repot buat surat ini untuk saya, saya jadi nggak enak.” Aku melihat layar di ponsel, tertera di layar, Arman.

“Harusnya aku yang minta maaf, jadi buat kakek gelisah gini…” Aku meminta maaf sekaligus berpamitan dengan Kek Sarmin dan Tara.

“Maaf banget, Kek, aku harus pamit duluan, mau ke Filosofi Kopi dulu, udah jam makan siang.”

“Kek Sarmin dan Mas Tara, saya izin pamit duluan ya ... makasih lho udah nganterin foto pesenanku jauh-jauh  ke sini.” Aku berkata sambil perlahan berjalan menjauhi mereka yang telah mengantarkan barang yang sempat membuat pagiku kacau. Seutas senyum dari bibir ayah dan anak itu seolah sabagai isyarat ucapan sama-sama yang tak terdengar olehku.

Aku menjawab panggilan dari Arman sambil berjalan menuju kedai kopi. Panggilan kedua Arman, setelah yang pertama tak terjawab olehku.

Halo, La?” Suara Arman terdengar dari ujung sana.

“Iya, Man … ada ap—” Arman langsung menanyakan perihal foto yang ia titipkan padaku.

“La, fotonya mana, gue tungguin dari kemarin, gue teleponin elu nggak elu angkat, gue chat juga nggak dibaca sama elu, ke mana aja sih elu La?

“Sabar…sabar, fotonya udah aman, udah gue ambil, besok gue kasih ke elu..”

“Elu di man—” Sial, suara Arman terputus, ponselku habis baterai.

Aku sudah sampai di kedai Filosofi Kopi, aku sedikit heran, mengapa kedai ini begitu berbeda, tampak dekorasi khas, pertanda akan ada acara yang berlangsung disini.

 Saat aku hendak memesan secangkir kopi, mataku terkaget, melihat lelaki yang ada di depanku, membelakangiku namun aku mengenai siapa dia. “Arman!!!!”

Arman menoleh ke arahku.  Ke mana aja lo, La, gue cariin dari kemarin.” Aku tidak memedulikan pertanyaan Arman, aku balik bertanya padanya.

“Kok elu ada di Jogja, emang reuninya di sini?” Arman menepuk keningnya, dia lupa memberitahuku satu hal.

“Astaga, gue lupa ngasih tau elu kalo reuni kita tuh di sini, di Filosofi Kopi Jogja.

“Gue juga baru tahu dari kantor pusat, kalo elu sama Indah lagi di Jogja, makannya tadi gue nelepon elu, mastiin kalo foto sama elunya ada di Jogja, eh, teleponnya putus.”

sorry-sorry tadi hape gue mati.”

Seketika itu juga, hujan turun membasahi Yogyakarta, sekaligus meluruhkan semua kekacauan hatiku sedari pagi sampai siang ini.   

***

Karya: Analogi Pagi

 

Saturday, September 25, 2021

Titik Kembali

https://blue.kumparan.com/image/upload/

Lagi-lagi serpihan tajam itu menyentuh lantai. Menyisakan serpihan tajam lainnya yang entah pantas atau tidak disebut cermin kembali. Terlepas dari hal itu, cermin rumpang yang tergeletak di ujung ruangan tersebut sedang memantulkan wujud pelaku yang merusaknya. Wajahnya yang terpantul di cermin bahkan terasa asing bagi dirinya sendiri. Wajah cantik yang di hiasi buliran air mata itu menatap nanar ke arah cermin. Terbesit ide melanjutkan kegiatan memporak-porandakan kamarnya, tetapi ia urungkan karena tersadar pada akhirnya hanya ada dirinya seorang yang akan membersihkan kekacauan tersebut.

Ada hati yang terluka, kepala yang berat, dan lelahnya raga yang menyita kesadarannya sesaat. Sudah cukup cerminnya saja yang rusak akibat dirinya yang kehilangan kendali untuk hari ini. Namun tiba-tiba perempuan tersebut menyadari kesalahan fatal yang telah ia perbuat. Ia merasa bodoh karena telah merusak cermin satu-satunya yang seharusnya menjadi bahan tugas selanjutnya.

Dengan cepat ia menyambar jaket dan tas kecilnya bermaksud untuk langsung pergi ke kota mencari cermin pengganti miliknya yang sudah rusak. Beruntung ditempatnya sekarang halte bus sudah tersedia. Tidak terbayang seberapa berat baginya menahan emosi yang sedang labil bila ia terpaksa menaiki angkutan umum berwarna hijau itu sekarang.

Karena lalu lintas yang padat ia terpaksa menunggu 15 menit lagi untuk bus yang sesuai tujuannya sampai di halte. Sembari menunggu, bayangan dirinya yang lepas kendali beberapa saat yang lalu memenuhi kepalanya. Ia tersadar bahwa lagi-lagi dirinya sendiri lah yang menjadi alasan atas kekecewaannya.

Entah sejak kapan perempuan itu tidak lagi merasa dirinya pantas bersanding dengan individu lainnya. Entah ingin maju ataupun mundur, rasanya tidak masalah apabila ia salah menapak atau bahkan terus menetap. Cepat atau lambat dirinya akan muak untuk sekedar kembali bangkit. Disitulah hidupnya akan berhenti menemukan titik terangnya. Kelamnya hidup lebih pantas ia lalui dibanding menapaki terang yang sama kosongnya.

Dialog di kepalanya terganggu oleh dua insan yang sedang bercengkrama tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia tidak merasa marah karena terganggu dan justru menikmati obrolan dua manusia asing tersebut.

Tidak lama, bus yang sesuai tujuannya pun menepi di halte. Pintu bus yang terbuka terpampang jelas dihadapannya. Namun ia justru berbalik berjalan lurus pergi meninggalkan halte. Entah mengapa langkah kakinya terasa lebih ringan dibandingkan saat ia berangkat. Tanpa sadar senyuman tipis terukir di wajahnya. Senyuman manis yang sudah lama tidak menghiasi wajah cantik tersebut. Dialog dua orang asing di halte tadi telah memberikan suatu dorongan baginya. Dorongan yang ia sendiri pun tidak sadar bahwa ia membutuhkannya. Ucapan salah seorang dari mereka terus bergema di dalam kepalanya tanpa henti.

“Ada satu hal yang sangat mudah kita temui dalam diri seseorang, yaitu betapa sulitnya mereka memandang diri sendiri melalui pantulannya masing-masing. Betapa banyak berlian yang terlewat di dalam sebuah pantulan cermin karena terlalu sibuk melihat pantulan cermin orang lain”

 Created by Ayesha Fazila Zahra , X IPS 1 ( Geografi) 

Wednesday, September 22, 2021

PENDIDIKAN YANG BERKEBUDAYAAN

https://mmc.tirto.id/image/otf/500x0/2021/02/25/sekolah-rakyat-indobesia

Dengan belajar dari sejarah, kita bisa bercermin betapa pentingnya basis budaya – pendidikan sebagai pengungkit kebangkitan bangsa. Lahirnya Budi Utomo(BU),20 MEI 1908, ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soekarno sejak 1948, dalam ikhtiar untuk menggalang persatuan nasional. Tatkala Republik muda yang harus menghadapi agresi Belanda justru dirundung perpecahan politik. Alasan memilih BU kemungkinan karena organisasi ini merupakan pergerakan modern yang moderat, yang dalam usaha mentransformasikan dirinya menjadi partai politik tak berkelanjutan. Dengan itu, organisasi ini tidak menjadi bagian dari pihak – pihak yang bersengketa di masa revolusi.

Apa pun alasannya ,penetapan BU sebagai penanda kebangkitan itu harus dilihat  sebagai pars pro toto; menunjuk salah satu untuk menggambarkan seluruh kemunculan berbagai organisasi sejenis yang memperjuangkan kemajuan abad ke-20. Lepas dari itu, kelahiran BU dan organisasi lain semasanya itu tidaklah bergerak dari ruang hampa, melainkan bertolak dari krisis sosial – ekonomi dan di atas jalan pergerakan yang telah dikatakan oleh para perintis.

Menurut perspektif teori gerakan sosial, kemunculan gerakan sosial itu melewati semacam siklus kehidupan, mulai dari fase pembenihan, pembentukan, dan konsolidasi. Gerakan sosial jarang muncul secara spontan, pada umumnya memerlukan masa persiapan yang panjang. Tak ada gerakan sosial yang muncul hingga menemukan suatu peluang politik yang tersedia, suatu konteks problem – problem sosial dan juga suatu konteks komunikasi, yang membuka kesempatan bagi pengartikulasian problem dan penyebarluasan pengetahuan.

Sebagai gerakan sosial, kebangkitan nasional menemukan masa pembenihannya sejak akhir abad ke-19 , sebagai akses politik pendidikan rezim liberal. Dalam usahanya memperluas birokrasi pendukung bagi industri perkebunan, rajin liberal memerlukan sekolah keguruan untuk menyiapkan tenaga teknis. Maka dari itu, salah satu institusi pendidikan modern yang pertama kali didirikan adalah sekolah pelatihan guru pribumi; dimulai di Surakarta pada 1851/1852, disusul beberapa sekolah serupa baik di dalam maupun di luar Jawa terutama setelah 1870.

Hingga akhir abad ke-19 , peran guru dalam mempromosikan wacana kemajuan sangatlah menonjol, setidaknya karena 2 alasan. Profesi guru pada masa itu menghimpun porsi terbesar dari orang – orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai pendidik mereka merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara – saudara sebangsanya. Selain itu, profesi guru kurang dihargai dibanding posisi administratif, sehingga menstruasi mereka untuk menjadi artikulator konsep kemajuan, dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Gagasan kemajuan dan kritik kaum guru terhadap kondisi yang ada diartikulasikan melalui media cetak dan berbagai perkumpulan yang mereka dirikan , seperti soeloeh(sejak 1899), serta perkumpulan guru yang paling berpengaruh, mufakat guru, dengan keanggotaan di berbagai Kabupaten di Jawa.

Sementara itu, pada tahun – tahun terakhir abad ke-19, perekonomian liberal yang dikembangkan dengan eksploitasi yang kejam atas buruh Indonesia mengalami krisis akut. Krisis berkelanjutan dalam kehidupan sosial – ekonomi terjadi akibat stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan keringanan kesehatan akibat gizi buruk dan berbagai wabah penyakit. Beragam katastrofi sosial itu lantas menciptakan iklim opini dan atmosfer politik baru di negeri Belanda. Partai – partai cenderung mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi dan efisiensi perekonomian, termasuk perbaikan kesejahteraan di tanah jajahan.  Lewat pemilihan umum pada tahun 1901, partai Kristen tampil sebagai pemenang, menjadikan liberalisme sebagai kredo usang, digantikan oleh Politik Etis.

Di bawah politik etis, pendidikan,  irigasi, dan transmigrasi menjadi prioritas program kesejahteraan, dengan pendidikan dipandang sebagai hal yang paling esensial. Di mata bapak gerakan etis, Th. Van Deventer, meningkatnya kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya personel pribumi yang cukup terlatih untuk menjalankan tugasnya. Lewat pendidikan, ia memimpikan kelahiran kembali hindia.

Di bawah rejim pendidikan etis, pada 1900 – 1902, sekolah dokter Djawa, yang berdiri sejak akhir abad ke-19, diubah menjadi school tot opleideing Van inlansche artsen (STOVIA). Lama belajar diperpanjang menjadi enam tahun tahap inti pengajaran kedokteran (geneeskundige), setelah mengikuti 3 tahun masa persiapan, yang membuatnya setara dengan tahun – tahun awal perguruan tinggi. Hal ini menempatkan STOVIA sebagai jenjang pendidikan tertinggi yang tersedia di hindia awal abad ke-20. Sejumlah mahasiswa dari sekolah inilah yang melanjutkan tingkat estafet kemajuan dari kaum guru,  dengan mendirikan BU.

Gerakan kebangkitan yang diperjuangkan Soetomo dan kawan – kawan itu tidaklah datang secara tiba – tiba, melainkan hasil usaha sadar untuk belajar dan berjuang . Dari manakah usaha kebangkitan nasional itu harus dimulai? Dari semangat zaman yang menyadari pentingnya fajar budi lewat pendidikan yang berkebudayaan. Kesadaran itu bukan hanya tercermin dari kelahiran Budi Utomo( keutamaan budi), tetapi juga dari organisasi sezaman , seperti jamiat khair(perkumpulan kebajikan budi), dan juga Tri Koro Dharmo( tiga tujuan mulia: sakti,budi,bakti). Singkat kata, budi pekerti (budi daya/budaya) dijadikan tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan.

Agen utama dalam menggerakkan kebingungan budi itu adalah kaum muda. Pendirian BU merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk bangkit dari keterbelakangan dan keterjajahan dengan memperjuangkan gerakan kemajuan. Gerakan kemajuan yang dilpelopori oleh para pemuda( berusia antara 19-21 tahun) itu dilakukan utamanya melalui pemupukan modal budaya(pengajaran, kebudayaan) : mengupayakan akses pendidikan yang lebih luas bagi kaum pribumi, penggalangan beasiswa, dan revitalitasi budaya.

Pemupukan modal budaya itu kemudian diperkuat oleh modal politik dengan berusaha melahirkan kepemimpinan baru. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan lama dalam melindungi kepentingan rakyat, BU pada awalnya( sebelum dikooptasi priyayi tua) berusaha menghadirkan kepemimpinan baru, dengan menerapkan manajemen modern yang mengandalkan keunggulan pikiran( meritokrasi ) ketimbang keturunan. Langkah – langkah rintisan BU ini, lewat persambungannya dengan gerakan – gerakan kebangkitan yang lain, melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang membuka jalan bagi kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.

Created by : M. Riyan Ramadhani, Jurnal Warna MAN 2 Kota Bogor

Tuesday, September 21, 2021

Konstelasi Pertemuan

                                                                        https://www.mldspot.com/
 


“Mas, hot chocolatte-nya satu.”

“Baik, Mbak.”

Aku menarik kursi di sudut kedai ini dengan meja kecil yang akan menemaniku. Malam ini temanku berjanji akan menemaniku di sini, di kedai yang tidak terlalu populer di kotaku tinggal, walau kedai ini tidak sepopuler Starbucks atau Coffee Bean yang biasa dikunjungi teman-temanku, tapi menu dan suasana di kedai ini bisa dibilang tidak seburuk kedai-kedai francise yang merajalela di kotaku tinggal lima tahun terakhir.

Konstelasi, itulah nama kedai ini, kedai yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota yang dipenuhi dengan mall dan deretan gedung pencakar langit. Kedai yang tidak terlalu besar untuk ukuran kedai kopi sederhana dengan harga yang bersahabat, tapi juga tidak terlalu kecil untuk menampung manusia-manusia urban yang membutuhkan asupan kafein dan membutuhkan tempat untuk berkumpul. Sekilas nama kedai ini cukup unik dan sederhana, hanya satu kata “konstelasi” tanpa menambahkan kata “kopi” di belakangnya. Lazimnya dan kebanyakan kedai kopi di kota ini menggunakan kata “kopi” sebagai nama sekaligus penegasan bahwa kedai tersebut merupakan sebuah kedai kopi.

Menu hot chocolatte kurasa tepat untuk menemani pertemuanku dengan temanku yang hanya membalas otw ketika kutanya udah sampe mana lewat pesan Whatsapp. Walaupun ini adalah kedai kopi, tetapi kedai ini tetap menawarkan menu non-kopi untuk orang-orang seperti diriku yang bukanlah seorang pencinta kopi. Aku sempat bertanya-tanya soal ini kepada diri sendiri dan teman-temanku yang begitu mencintai kopi. Apa yang spesial dari kopi sehingga begitu banyak kedai kopi di kota ini dan banyak orang yang rela meminum minuman pahit berwarna cokelat itu? Beberapa temanku menjawab dengan filosofis bahwa kopi adalah simbol kebahagiaan, kopi adalah sumber inspirasi yang memberikan nyawa pada karya yang mereka buat, tak ada kopi, berarti tak ada inspirasi, begitlah teman-temanku mengagungkan kopi. Bagiku, kopi hanyalah minuman pahit berwarna cokelat pekat — ada juga yang berwarna hitam pekat, yang mengandung kafein dan di zaman ini kopi adalah komoditas unggulan bagi negara-negara penghasil biji kopi seperti Indonesia dan Brazil. Itu saja.

“Permisi, ini hot chocolatte pesanan, Mbaknya … selamat menikmati.”

“Terimakasih, Mas.”

Hot chocolatte pesananku sudah terhidang di atas meja kecil yang sebenarnya cukup untuk menampung dua cangkir minuman. Sebelum aku menikmati minuman pesananku, terlebih dulu aku menanyakan temanku yang katanya masih otw menuju ke sini.

Re, lu udah sampe mana? Gua udah pesen hot chocolatte, nih.

Sorry … sorry, nih … kayaknya gue nggak jadi deh ke sana.

Lah, kenapa? Kok gitu, sih?

Ayolah, mengapa kejadian seperti ini selalu terulang kembali? Mengapa setiap janji pertemuan denganku, teman-teman yang kuajak selalu berhalangan datang setelah mengiyakannya? Seminggu lalu Pagi tidak jadi menemuiku karena dirinya harus mengurus bisnisnya yang sedang jatuh-bangun, padahal sebelumnya dia sudah excited dengan ajakanku. Tiga hari lalu, Bintang mengabarkan kalau dirinya tiba-tiba ditelepon bosnya untuk mengerjakan sebuah project besar di perusahaan tempat ia bekerja, tepat setelah 30 menit kumenunggu di sebuah mall dekat dengan kantor Bintang bekerja. Dan sekarang, apakah Sore akan membatalkannya karena urusan pribadi?

Iya, nih … tadi cowok gue tiba-tiba nelepon minta ketemuan buat nonton di bioskop … hehehehe … sorry, ya … lain kali aja ketemuannya … cowok gue kayaknya nggak sabar bet pengen nonton berdua sama gue … maafin ya, Lin.

Iya, iya … santai aja … salam ya buat cowok lu, bilangin kalo ngajak ketemuan jangan tiba-tiba kek gini, wkwkwkw.

Oks.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit di sini, di kedai yang bisa dibilang ramai pada malam hari, aku harus menerima kenyataan bahwa Sore tidak jadi menemuiku di sini. Hot chocolatte pesananku wajib kunikmati walau tidak akan ada percakapan yang menemani.

“Hai, boleh gue duduk di sini?”

“Oh, silakan, Mas … duduk aja di situ.”

Seorang lelaki datang menghampiriku dengan membawa minuman pesanannya — tebakanku itu adalah kopi tubruk karena aku mencium aroma kopi yang begitu kuat ketika dia datang. Sekilas kulihat rambut lelaki ini yang cukup gondrong — rambutnya menutupi telinganya dan dia hanya memakai kaus hitam dengan celana panjang berwarna abu-abu dengan membawa tas jinjing yang digantungkan di lengan kirinya — pasti dia anak indie.

“Pasti dateng ke sini buat buat nulis puisi?” Aku menodongnya dengan pertanyaan sinis dan khas stereotipe tentang anak indie.

“Bukan nulis puisi, tapi nulis cerita.” Laki-laki itu sekilas melihat ke arahku lalu dia melihat pakaian yang ia kenakan.

“Pasti kamu ngira gue ini anak indie, ya?”

“Iya. Nggak masalah, kan?”

“Enggak masalah, udah sering, kok dikira anak indie sama orang-orang karena tampilan gue kayak gini. Tampilan emang suka ngejebak, ya?”

“Lho, kan memang itu fungsi dari penampilan, kan? Memberikan kesan pertama kepada orang yang melihatnya.”

“Dan kesan pertamamu ke gue adalah anak indie.”

Of course!” Aku tertawa karena kesan pertamaku terhadap laki-laki indie ini tertebak secara cepat dan jelas.

Laki-laki indie yang duduk di dekatku kemudian mengeluarkan notebook miliknya yang ia pangku di atas kedua pahanya karena meja di depannya terlalu kecil dan sudah ditempati oleh hot chocolatte-ku dan kopi tubruk pesanannya.

“Lu pasti penulis profesional, ya?”

“Gue cuma penulis biasa aja, belum jadi penulis profesional.”

“Cerita apa, nih yang lagi lu tulis?”

“Belum tahu, gue masih nyari inspirasi, ya siapatahu aja ketemu malem ini.”

“Oh iya, tumben lu di sini sendiri, biasanya perempuan kalo dateng ke kedai Konstelasi pada bawa temen, kayak orang yang duduk di deket bar sana.” Laki-Laki Indie mengarahkan matanya ke meja yang tak jauh dari bar, tempat transaksi dan peracikan semua menu di kedai ini.

“Harusnya malam ini temen gua dateng ke sini, tapi ya, kayak biasa ….”

“Di-PHP-in, ya?”

Of course.”

“Lebih sakit di-PHP-in sama temen sendiri atau sama pasangan, nih?” Aku tertawa mendengar pertanyaan si Laki-Laki Indie yang belum 10 menit kukenal ini.

“Sama aja, sih … kan intinya sama-sama dibohongin, ingkar sama janji yang udah dibuat.”

“Kalo lu di-PHP-in, nih … apa yang akan lu lakuin?”

“Ya, gue nggak akan ngapa-ngapain, gini-gini aja … lagian kelakuan orang juga nggak bisa gue atur, ya … biarin aja.”

“Nggak sakit hati, gitu?” Aku rasa dia memiliki masalah dengan hubungan interpersonalnya, atau saking seringanya diberi harapan palsu oleh orang-orang terdekatnya, membuat lelaki indie ini menjadi tahan terhadap harapan palsu orang-orang.

“Ngapain sakit hati, biarin aja yang kayak gitu, mending minum kopi aja atau nikmatin pesenan yang udah dipesen, kalo di-PHP-in buat ketemuan kayak kamu.”

Si laki-laki indie kemudian mengambil gelas kopi di depannya, lalu dengan perlahan dia menghirup aroma yang keluar dari dalam gelas kopi itu, dan sedikit demi sedikit kopi dari gelas yang digenggamnya masuk ke dalam mulutnya. Dia lalu mengakhirinya dengan aahhh.

“Kopi tubruk, ya?”

“Iya. Mau coba?”

“Eh, enggak-enggak, gua nggak suka kopi.”

“Kenapa nggak suka kopi?”

“Karena nggak manis.”

“Kan bisa ditambah gula.”

“Kalo kopinya ditambah gula gua suka, tapi kalo kopi tubruk kayak yang lu minum itu gua nggak suka. Tapi gua jadi penasaran kenapa banyak orang yang suka kopi pahit kayak yang lu minum itu?”

“Ya, jawabannya kurang lebih sama kalo gue tanya ke lu, kenapa lu suka kopi yang rasanya manis?”

Of course karena rasanya enak di lidah, sama nggak ada rasa yang nyangkut di tenggorokan abis diminum.”

“Nah, karena rasanya enak di lidah itulah yang bikin orang-orang suka sama kopi yang rasanya pahit.”

“Tapi waktu gua nyoba minum kopi item sasetan punya bapak gua, pas gua minum ada rasa yang nyangkut di tenggorokan dan itu nggak enak di gua.”

Aftertaste, rasa yang ketinggalan di tenggorokan abis kamu minum kopi. Rasanya macem-macem, tiap biji kopi punya aftertaste yang beda, tergantung proses penanamannya, ada yang rasanya fruity karena ditanem deket pohon buah tertentu, misalnya jeruk, ya kayak gitu lah, tapi bukan berarti rasanya berubah jadi manis pas diminum … cuma ada rasa-rasa buah aja.”

“Gua jadi ragu kalo lu cuma penulis biasa … lu ahli kopi, ya … pasti pencinta kopi, nih?”

Si laki-laki indie tertawa sesaat sebelum ia meminum kopi tubruknya. “Gue cuma penikmat kopi, nggak lebih, sama ya gue cuma nulis kalo dapet ide aja, penulis bukan profesi utama gue saat ini ….”

“Tapi penjelasan lu dalem gitu, mana mungkin cuma penikmat biasa ….”

“Ya, terserah kamu aja menganggap gue ini apa, gue nggak bisa maksa, di luar kontrol gue.” Dia menutup kalimatnya dengan seruputan khas peminum kopi yang kudengar di kedai Konstelasi ini, sllurrp … ahhh.

Keramaian kedai Konstelasi turut menutup seruputan terakhir laki-laki indie di sampingku yang sedang fokus pada notebook di pangkuannya, sepertinya dia sedang fokus menulis cerita.

“Oiya, tadi kamu bilang kalo sebenernya kamu ke sini buat janjian sama temen kamu, ya?”

“Iya.”

“Biasanya kalo perempuan ngerencanain buat ketemuan pasti ada cerita yang mau dibahas.”

Of course.”

Melihat cara dia bersikap dan mendengar jawaban serta pengamatannya tentang perempuan, mungkin dia memiliki sudut pandang yang menarik terkait ceritaku. Semoga saja … dan mari kucoba.

“Lu percaya sama yang namanya kebetulan, nggak?”

“Gue nggak percaya yang namanya kebetulan. Lu percaya sama itu?”

Of course gua percaya.”

“Kenapa?”

“Menurut gua, kebetulan itu indah dan unik. Dia bisa dateng kapan aja dan di mana aja, tanpa tahu dan tanpa gua sadari, tapi sebenarnya kebetulan itu adalah realitas yang disadari … unik, kan … Ya, bagi gua pertemuan dengan lu itu adalah sebuah kebetulan, gua nggak tahu dan kehadiran lu di luar prediksi gua, gua juga sebenernya sadar ketemu sama lu, tapi kedatangan lu ke sini itu tanpa gua sadari. Banyak kejadian dalam hidup gua yang terjadi karena kebetulan, dan dari realitas yang terjadi itu gua bersyukur karena kebetulan gua ada di posisi itu yang akhirnya membawa gua pada keberuntungan-keberuntungan yang bisa gua dapatkan.”

“Alasan kamu menarik juga, berarti kebetulan-kebetulan di hidup kamu itu sangat berarti?

Of course, bagi gua itu sangat berarti, even itu adalah kebetulan yang buruk, tapi ya, sekali lagi itu pasti ada maknanya bagi gua. Ya, misalkan orang yang ada di posisi lu sekarang adalah pencopet yang mau nyopet dompet gua, terus nggak lama setelah dia duduk, dompet gua diambil, dan pencopet itu langsung kabur. Bagi gua itu adalah kebetulan yang buruk, gua sadar realitasnya dompet gua diambil tapi tanpa disadari orang yang duduk di samping gua adalah pencopet.”

“Kalo kejadiannya begitu, apa yang bisa kamu maknai, dong?”

“Simpel, sih … ya, itu berarti lain kali gua harus lebih waspada aja sama orang asing di sekitar gua, dan lebih menjaga jarak aja biar kalo kebetulan dia mau berbuat jahat, ya gua masih punya jarak buat menghindar dari kejahatannya.”

“Kalo ternyata orangnya mau berbuat baik, dan bakal jadi kebetulan yang baik, gimana dong?”

Of course gua juga punya jarak untuk perlahan mendekat, dan kalo tiba-tiba orangnya berubah pikiran, tetep gua bisa langsung kabur.” Aku mengakhiri kalimatku dengan tertawa lepas. Sungguh senang rasanya. Namun aku masih penasaran karena si laki-laki indie tidak percaya dengan kebetulan, agaknya dia punya alasan yang menarik tentang ini. Sungguh, kepercayaan tentang kebetulan bisa jadi seperti kepercayaan tentang bumi datar atau bulat, jika saja ada yang berbeda pandangan terkait perbedaan ini, mungkin suatu saat nanti para ahli bahasa akan mengapus kata “kebetulan” dari kamus. Hahahahahaha.

“Kalo lu, kenapa nggak percaya sama kebetulan?”

Dia menyeruput kopi tubruknya terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku.

“Tentu karena segala yang terjadi sudah ada skenarionya, jadi tidak ada yang namanya kebetulan. Gue hanya percaya bahwa itu cuma kata buat mendeskripsikan keadaan yang nggak diprediksi dan disadari sama orang-orang, tapi pada dasarnya semua kejadian di dunia ini bukanlah kebetulan.”

So, how?”

“Karena semua kejadian yang manusia alami pasti ada sebab-akibatnya, makanya ketika anak SD belajar bahasa, mereka dikenalkan sama kata ‘karena’ supaya mereka tahu bahwa segala yang terjadi dalam hidup mereka itu ada sebab-akibatnya, bisa dijelaskan mengapa itu terjadi.

“Ya, contohnya kayak pertemuan kamu dan gue sekarang. Ini bukan kebetulan, karena gue ke sini buat minum kopi dan lu ke sini karena sebelumnya udah ada janji sama temen buat ketemuan, tapi karena temen lu nggak bisa dateng dan kondisi kedai Konstelasi yang rame sampe gue hampir nggak dapet tempat, maka akhirnya kita ketemu di sini. So, semua alurnya udah jelas, tertata rapi banget, dan even itu baik atau buruk, menurut gue esensinya bukan di situ, tapi lebih ke proses panjang bin rumit ini yang akhirnya membawa pada sebuah kejadian, yang orang-orang bilang sebagai kebetulan.”

Damn, keren banget ni cowok, kayaknya dia alumni jurusan filsafat UI, deh … muridnya Rocky Gerung … hahahahaha.

“Wow, keren banget alesan lu, jarang-jarang gua nemu orang yang mikirin hal sepele sedetail itu.” Si laki-laki indie hanya tertawa dengan elegan sambil menutup notebook-nya.

“Kamu terlalu berlebihan, itu masih pemikiran yang sederhana, belum kompleks banget kayak anak-anak jurusan filsafat atau orang yang belajar fisika kuantum.”

“Gua yakin pasti lu punya pemikiran tentang eksistensi manusia sampe eksistensi alam semesta.”

“Nggak sampe sejauh itu, lah … itu mah kerjaannya Rocky Gerung sama murid-muridnya buat mikir begituan, gue cuma curi-curi baca aja kalo soal pemikiran filsafat atau eksistensi begituan, lumayan lah buat nambah-nambah bahan tulisan gue.” Dia menjawab seraya tertawa geli, sepertinya pernyataan pujianku cukup absurd dan terlampau jauh untuknya.

Dia lalu menyeruput kopi tubuknya untuk terakhir kali kemudian perlahan berdiri dari tempat ia duduk.

“Gue pergi duluan, ya, udah malem … makasih banyak lho buat malem ini, perspektif kamu tentang kebetulan juga keren. Oiya, kalo mau ketemuan lagi, gue biasa ke Konstelasi tiap malem Minggu. Gue pamit duluan, ya ….”

“Ya, hati-hati di jalan, Mas ….”

Setelah dua malam Minggu

Aku kembali mengunjungi kedai Konstelasi untuk mencoba menikmati kopi hitam atau manual brew, begitulah pihak kedai Konstelasi menyebutnya di buku menu. Malam ini tidak seramai malam-malam Minggu sebelumnya, mungkin eksistensi kedai Konstelasi mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain yang semakin menjamur dengan strategi pemasaran yang ciamik di kota ini, entahlah, yang penting aku bisa menikmati beberapa teguk manual brew malam ini.

“Mas, Kintamani satu, ya.” Pesanku pada sang barista, sepertinya kopi Kintamani cocok untuk menemani malam Mingguku.

“Mau yang light atau bold, Mbak?”

Light aja.”

“Berarti diseduh pake V60 aja ya, Mbak ….” Aku mengangguk sebagai tanda mengiyakan permintaan sang barista.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi dekat dengan bar kedai, sambil memperhatikan bagaimana para barista menyeduh dan menyajikan beragam menu kopi kepada konsumen mereka. Setelah aku memesan V60 Kintamani, aku melihat secara perlahan orang-orang berdatangan ke kedai Konstelasi, mulai menduduki kursi-kursi yang masih kosong dan memang menunggu untuk diduduki oleh manusia-manusia yang ingin mengahabiskan malam Minggu dan menikmati menu kopi di kedai Konstelasi. Tampaknya dugaanku tentang eksistensi kedai Konstelasi yang mulai tersaingi oleh eksistensi kedai-kedai kopi lain tidak sepenuhnya benar.

“Silakan, Mbak, ini kopi pesanannya.”

“Terimakasih, Mas.”

Perlahan tapi pasti, kopi yang kupesan mulai masuk ke dalam mulutku, kurasakan dengan lidahku, apakah benar yang waktu itu dikatakan oleh Laki-Laki Indie tentang aftertaste kopi hitam, dan aku juga mencoba menaklukkan lidahku yang cukup anti dengan minuman pahit, dengan menikmati V60 Kintamani ini. Semoga tubuhku tidak menolak rasa pahit ini, ah, diriku terlalu lebay.

“Rasanya enak, ‘kan?”

Laki-laki indie tiba-tiba datang dari arah kiriku, sejalan dengan pintu kedai Konstelasi yang saat ini terbuka lebar menyambut para pengunjung yang datang. Ada apa dengan dirinya? Mengapa dia datang ke sini lagi? Apakah ini sebuah kebetulan lagi?

“Eh, lu … pasti dateng ke sini buat nulis cerita lagi, ya?”

“Jawab dulu, dong pertanyaan gue, rasa kopinya enak, ‘kan?”

“Ya … pahit, sih ….”

“Oiya, cerita yang waktu itu gue bikin udah jadi, nih ….” Dia menyerahkan koran yang terbit tadi pagi kepadaku, dia lalu menunjukkan kolom cerpen kepadaku, kolom yang berada di pertengahan koran, setelah kolom ekonomi, politik, humaniora, dan metropolitan. Ternyata dia mengirimkan cerita buatannya kepada redaktur koran, sependek pengetahuanku, koran-koran edisi akhir pekan memang menerbitkan cerita pendek yang biasanya ditulis oleh para cerpenis andal, sebut saja Benny Arnas dan Ahmad Tohari yang namanya kerap kulihat di koran edisi akhir pekan milik bapakku sewaktu aku SMA.

“Konstelasi Pertemuan. Jadi ini judul ceritanya?”

Of course.” Laki-laki indie mulai meniru jawaban khasku.

“Makasih ya, udah menginspirasi gue buat nulis cerita itu, perspektif kamu tentang kebetulan dan minuman manis jadi topik yang gue angkat di cerita itu.”

“Mahesa Utara.” Ternyata itulah nama si laki-laki indie! Setelah dua malam Minggu baru kutahu nama si lelaki indie ini, sang peminum kopi tubruk yang tak percaya dengan kebetulan!

“Ya, itulah nama gue, panggil aja Tara, tapi kalo kamu mau manggil gue Mahesa juga nggak masalah.”

“Lintang Selatan. Biasa dipanggil Lintang.”

Kami lalu berjabat tangan untuk perkenalan yang seharusnya dilakukan sewaktu pertemuan kami yang pertama, pertemuan yang terjadi secara kebetulan — bagiku, dan bagi Mahesa, tentu pertemuan dua malam Minggu lalu adalah bagian dari hubungan sebab-akibat yang ciamik. Bagian dari skenario semesta yang indah, bagaikan sebuah konstelasi.

Created by Muhammad Lutfi Subhan - Analogipagi

KETIKA HUJAN TURUN

  https://asset.kompas.com Sore itu di jalan O tista , Bogor,   seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia menjaga tempat percetakan ke...