Sore itu di jalan Otista, Bogor, seorang kakek bernama Sarmin yang masih setia
menjaga tempat percetakan kecil miliknya yang diwariskan dari sang bapak.
“Tempat
ini sudah ada sejak bapak saya masih lajang, beliau membuka tempat ini karena
sang pujaan hati (Ibuku) sedang disibukkan dengan skripsinya yang sudah
selesai, dan siap untuk dicetak. Ibuku yang waktu itu sedang kebingungan
mencari tempat untuk mencetak skripsinya, lantas bertanya kepada bapak, di mana tempat yang bisa
mencetak skripsi dengan harga yang sesuai dengan kantong anak kuliahan. Tanpa
pikir panjang, bapak sontak menjawab bahwa dia memiliki tempat percetakan yang
bisa mencetak skripsi buatan ibu. Selepas ibu menyetujui tawaran bapak, bapak
segera menuju tempat di mana ia membuka tempat percetakan ini. Dahulu tempat
ini difungsikan sebagai toko kelontong milik kakekku sebelum akhirnya ditutup
karena bangkrut dan diberikan pada bapak sebagai warisan sebelum kakek
meninggal dunia. Keesokan harinya bapak langsung membeli semua peralatan untuk
membuat tempat percetakan dan langsung menyulap bekas toko kelontong itu dalam
semalam suntuk. Ibu-lah
yang menjadi pelanggan pertama yang datang dan mencetak skripsinya di toko
percetakan kecil milik bapak yang dibuat dalam waktu 24 jam. Dengan dalih
sebagai pelanggan pertama, maka bapak menggratiskan ongkos cetak skripsi untuk
ibu yang sebenarnya adalah sebuah modal dusta bapak. Setelah skripsi ibu
dicetak dan ibu meraih gelar sarjananya, bapak memberanikan diri untuk mengakui
bahwa tempat percetakan kecil itu memang
khusus dibuat untuk mencetak skripsi milik ibu agar ia tak mencetaknya di
tempat percetakan yang lain. Ibu tergelak saat bapak selesai membuat pengakuan kepadanya dan saat itu
juga, ibu yakin bahwa bapaklah pilihan yang tepat untuk mendampinginya
mengarungi masa depan yang menanti di depan mata. Singkat cerita, bapak lalu
menikahi ibu dan memulai babak baru sebagai Founder dan Co-Founder
tempat percetakan kecil pertama di jalan Otista. Bapak meninggal
sepuluh tahun lalu saat sedang mencetak skripsi seorang mahasiswi Universitas
Pakuan. Setelah bapak berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa, saya lantas
mengambil alih posisi bapak bersama adikku, Sarman yang menggantikan takhta ibu sebagai co-founder.
Walaupun kini sudah bermunculan tempat percetakan lain yang lebih modern,
tempat ini tetap akan menjadi tempat percetakan pertama di jalan Otista sekaligus menjadi
saksi bisu kisah cinta dua sejoli yang memulai cintanya di tempat percetakan
kecil ini.”
Sudah lima tahun lalu aku mendengar
cerita itu terucap dari lisan Kek Sarmin yang kala itu hujan sedang
deras-derasnya turun membasahi kota hujan yang merindukan turunnya hujan. Itu
pun sebuah ketidaksengajaan karena hujan yang turun. Aku yang sedang asyik
menjejaki trotoar Otista, dikagetkan dengan petir yang menggelagar, diikuti
hujan lebat yang turun selama satu jam lamanya. Tanpa pikir panjang, aku
langsung meneduh di sebuah percetakan kecil tua milik Kek Sarmin. Kebetulan aku yang sedang membawa file foto
untuk dicetak, langsung memberikannya pada Kek Sarmin, dan karena hujan belum
kunjung reda, Kek Sarmin mendobrak hening dengan bercerita tentang sejarah
tempat percetakan kecil miliknya.
Angkot-angkot hijau selalu
menghiasi hari-hariku di kota hujan ini, terlebih jika jam pulang kantor yang
selalu dipadati ribuan kendaraan yang berebut jalanan menuju rumah
masing-masing. Aku lebih senang berjalan dari kantor menuju rumah, selain lebih
hemat ongkos, aku juga bisa menikmati indahnya sore hari ditengah padatnya kota
hujan.
Sebelum aku beranjak dari kantor,
Arman, salah satu rekanku di
kantor,
yang juga merupakan teman satu sekolah semasa SMA meminta bantuanku untuk
mencetakkan foto angkatan
SMA kami, katanya seminggu lagi akan ada reuni SMA angkatan kami.
“Kala, gue mau minta tolong cetakin
foto angkatan
kita, buat reuni satu minggu lagi.”
“Boleh, buat reuni, ya? Mau
dicetak ukuran berapa?”
“ Ukuran 20x40.” Arman lalu pergi
begitu saja dengan meninggalkan sebuah flash disk di mejaku.
“Nama file-nya Reuni SMA, ada di folder
SMA….” Suara Arman menghilang, sejalan dengan dia yang pergi menjauh dari
mejaku. Dirinya masih disibukkan dengan tugas kantor yang tak kunjung usai. Baiklah, hari ini aku
akan kembali berkunjung ke tempat percetakan pertama di jalan Otista, milik
seorang kakek tua, Kek Sarmin.
“Selamat sore, Kek … apa kabarnya, Kek?”
“Sore, Nak Kala, kabar baik,
udah lama nggak mampir ke
sini ....” Kek Sarmin tersadar
dari lamunannya.
“Mau cetak foto, Nak Kala?” Kek Sarmin
bertanya memastikan.
“Iya, Kek, foto SMA,
ukurannya 20x40 ya, Kek ,…” Aku menyerahkan flash
disk yang berisi file untuk dicetak.
“Foto yang mau dicetak ada di
folder SMA, nama file-nya
Reuni
SMA.”
Aku sedikit melongok ke arah komputer untuk memastikan bahwa file yang
akan dicetak tidak salah. Tak lama setelah aku menarik kursi untuk duduk
menunggu foto dicetak, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku.
“Kala, kamu besok ikut aku, kita ditugaskan
untuk pergi ke Pancoran, Jakarta. Kantor cabang di sana lagi butuh bantuan
kita. Nggak lama,
kok, cuma seminggu.”
Pesan itu datang dari Indah, atasanku yang juga temanku di kantor.
“Kek, kira-kira nyetak fotonya
berapa lama lagi ya?”
“Baru juga transfer file, Nak, yaaa ... kira-kira satu
setengah jam baru bisa diambil.”
Aku melihat jam di tangan, pukul lima
lewat seperempat. Aku tidak mungkin menunggu sampai foto itu jadi. Waktuku bisa
terbuang sia-sia. Lebih baik aku pulang untuk packing keperluan selama
di Jakarta.
“Kek, aku pamit pulang dulu ya…
nanti malam aku ke sini
lagi buat ngambil fotonya.” Aku bergegas meninggalkan tempat percetakan.
“Hati-hati, Nak…” suara Kek Sarmin
terdengar samar, berbarengan dengan deru knalpot kendaraan bermotor yang
berhamburan di jalanan.
Setibanya di kosan, aku langsung
menurunkan koper dari atas lemari dan mencari serta melipat baju-baju untuk
seminggu ke depan.
Lima menit aku fokus dengan baju dan koper, ponselku bergetar, menandakan ada
panggilan telepon masuk. Aku mengambil ponselku di atas kasur yang penuh dengan
baju untuk kubawa besok. Dari Indah.
“Halo, ada apa, Ndah?”
“Halo, La, informasi baru,
kita besok nggak jadi ke Jakarta, kita jadinya pergi ke Jogja. Ternyata yang
lebih butuh bantuan kita itu kantor cabang Jogja, bukan Jakarta. Besok ketemu
di Gambir, yaa…
kereta jam tujuh pagi….. see you…”
Aku harus segera merapikan
perlengkapan untuk besok sebelum malam tiba. Aku merasa sangat lelah, jadi aku
putuskan untuk beristirahat malam ini, tidak digunakan untuk terhanyut dalam
drama Korea yang biasa aku tonton kala malam menyelimuti. Akhirnya selesai,
semua perlengkapan untuk satu minggu di Jogja sudah aku masukkan ke dalam koper
berukuran sedang. Aku mengempaskan tubuhku ke atas kasur, menyalakan ponsel, dan melihat-lihat
sebentar apa yang ada di dunia maya. Belum lima menit aku menjelajah dunia
maya, mataku tak kuat membuka sehingga ponsel yang ada di tanganku terjatuh dan
aku pun tertidur.
Suara ayam berkokok mengusik
mimpiku, membuatku terbangun dari mimpi panjang tadi malam. “ Astaga, udah jam
lima … telat
gue … telat guee….” Aku langsung bangkit
dari kasur
langsung menyabet handuk dari gantungan pintu, langsung memasuki kamar mandi.
Setengah jam aku bersiap. Selesai bersiap, aku langsung bertolak menuju Stasiun
Gambir.
Pukul 06.45 aku tiba di Stasiun
Gambir, Indah sudah berdiri gelisah dengan wajah kesal menunggu sejak tadi pagi
buta.
“Lo ke mana aja sih … jam segini baru sampe ….” Sebelum Indah lebih
murka padaku, aku menyurhnya untuk ikut antre masuk peron, kereta kita sudah
bersiap di peron.
“Marahnya nanti aja, cepet antre
sini, nanti kita telat gara-gara lo kelamaan marah sama gue ....” Aku menarik tangan
Indah dan memasuki antrean menuju peron. Argo Dwipangga sudah menunggu kami
sedari tadi. Jogja, aku
datang.
Delapan jam sudah aku dan Indah
tempuh untuk mencapai kota ini. Yogyakarta. Aku terbangun saat suara
pemberitahuan bahwa kereta argo Dwipangga telah tiba di tujuan akhir, Stasiun
Tugu, Yogyakarta. Sembari menunggu orang-orang berangsur turun dari gerbong,
aku masih mengumpulkan nyawa, sementara Indah sudah siap dengan barang
bawaannnya. “Bangun putri tidur, dari tadi tidur terus ... buruan bantuin gue
angkatin barang-barang.” Tanpa membalas ocehan Indah, aku langsung bangkit lalu
mengambil barang-barangku dan satu tas milik Indah. Kami berdua turun dari
gerbong kereta, menghirup udara segar Yogyakarta.
***
Sudah empat hari aku berada di
Yogyakarta, hari-hariku tak jauh berbeda seperti di Bogor, dari kosan ke
kantor, dari kantor ke kafe, kembali lagi ke kantor, pulang ke kosan. Sama
saja.
Di hari kelima, aku bangun lebih
pagi dari yang biasanya, Indah masih terlelap di kasur yang berada hanya
dua meter dari tempatku tidur. Aku merasakan ada yang aneh dengan diriku hari
ini. Kuputuskan untuk bergegas mandi dan berwudu untuk menunaikan salat subuh. Selepas
menunaikan kewajibanku dan meminta petunjuk lewat doa aku menyalakan ponsel
yang sejak malam aku isi kembali dayanya. Setelah aku menyalakan mode data, ada
puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan yang belum aku baca. Setelah
aku melihat dengan saksama ternyata semua itu dari Arman. Hanya satu hal yang
Arman tanyakan lewat pesan yang ia kirim, dan mungkin yang ia akan tanyakan
lewat telepon. “Fotonya udah jadi belum, La?”
Saat itu juga aku baru teringat
dengan foto yang dicetak di percetakan Kek Sarmin. Aku lupa mengambilnya.
Sialnya lagi adalah flash disk yang berisi file foto itu
tertinggal di percetakan Kek Sarmin. Aku langsung menghubungi Arman saat itu
juga untuk meminta maaf atas kelalaian yang telah aku perbuat. Ketika itu juga
pikiranku terfokus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Satu setengah jam
aku keluar kosan untuk mencari sinyal agar bisa menghubungi Arman. Sial, sinyal
di sini
sedang tidak bagus karena sedang ada perbaikan jaringan di kota ini, yang
berimbas kepada para pemakainya. Indah lalu menegurku, ia sudah siap menuju
kantor dengan pakaian khas wanita karier, ia terheran melihat temannya berubah
begitu cepat. “Lu mimpi apa semalem, La?” Indah hanya lewat saja dan berkata
“ Gue duluan ke kantor ya La, gue tunggu di kantor.”
Aku berpindah mencari tempat yang
lebih tinggi untuk mendapatkan sinyal agar bisa menghubungi Arman. Syahdan,
sinyalnya sudah dapat. Aku coba menghubungi dirinya. Dua kali. Lima kali. Aku
lihat jam di ponsel, ternyata sudah pukul setengah delapan. Pantas saja Arman
tidak bisa dihubungi, ini sudah masuk jam kerja. Aku lantas kembali ke kosan
untuk bersiap menuju kantor.
Dengan jantung yang berdebar, dan
wajah yang mulai mengeluarkan peluh, aku berjalan memasuki gerbang kantor,
sampai di depan front office aku kembali berpapasan dengan Indah. Ia
terlihat sedang sibuk membawa berkas kantor yang bertumpuk di tangannya. Aku
menuju ke meja tempatku bekerja, aku membuka laptop dan menyalakannya. Aku
memutar musik dari laptop, suara indah Baskhara Putra berdendang indah, lewat
lagunya bersama Rara Sekar,
Membasuh.
Aku menenagkan diri sejenak. Sekejap, aku menemukan cara untuk mengatasi ini.
Aku akan pulang ke Bogor malam ini. Aku membuka situs pemesanan tiket online.
Satu jam aku mencari tiket dan menyesuaikannya dengan perekonomianku. Syahdan,
aku menemukan tiket yang terjangkau. Aku harus izin terlebih dulu kepada bosku
sebelum aku kembali ke Bogor. Izin telah aku kantongi, tiket kereta sudah
tinggal cetak, satu lagi yang perlu aku pastikan. Kegelisahan hati.
Tak bisa aku pungkiri, sejak
kejadian tadi pagi, aku tidak bisa fokus untuk bekerja, bahkan saat membeli
tiket kereta secara online saja, jemariku bergetar mengetik dan memilih
tiket yang akan dibeli. Kuputuskan untuk istirahat sejenak, tentunya bukan di
kantor, aku bertolak menuju kedai kopi dekat sini. Filosofi Kopi.
Aku berjalan keluar kantor menuju
kedai kopi, hanya setengah kilometer jika berjalan. Aku sempat berpapasan
dengan seorang laki-laki yang tampaknya sedang terburu-buru, kepalanya
tertunduk menggenggam ponsel miliknya. Apa daya, dia menabrakku, laki-laki itu
tidak jatuh, tapi ada dua barang yang jatuh ke tanah. Nampaknya aku familier dengan salah satu dari barang
yang terjatuh. Flash disk milik Arman. Aku cepat-cepat membungkuk dan
mengambilnya, sang lelaki kalah cepat denganku mengambil barang yang terjatuh,
apa daya, dia hanya mengambil barang yang satunya.
“Kok, flash disk ini
ada sama masnya?” Aku bertanya menyelidik.
“Maaf, Mbak, flash disk ini
punya ayah saya.” Dia menjawab dengan santun.
Aku mencoba beralih ke barang satu
lagi yang ikut jatuh bersama flash disk. “ Kalo barang yang itu saya
boleh lihat, nggak?”
Barang di genggaman tangannya masih tertutup rapi dibalut oleh kertas abu-abu
yang nampaknya akan di kirim melalui jasa ekspedisi barang.
“Boleh, Mbak, tapi bungkusnya
jangan dibuka ya.” Dia memberikan barang itu padaku.
“Barang itu titpan ayah saya, mau
dikirim ke Bogor, kalau nggak salah atas nama Ka—” Aku terkejut ketika
dia hendak menyebutkan nama seseorang.
“Maksud kamu Kala?”
“Iya, Mbak Kala yang ada di Bogor.” Aku langsung membuka
kertas yang membungkus barang itu, dan benar saja, ini adalah foto yang aku
cetak di percetakan Kek Sarmin.
“Ehh, Mbak ... jangan dibuka .…” Aku meneyelidik
wajah lelaki yang menabrakku ini, wajahnya mirip sekali dengan wajah Kek
Sarmin.
“Kamu anaknya Kek Sarmin, ya?” Aku langsung
bertanya untuk memastikan bahwa lelaki ini adalah anaknya Kek Sarmin.
“Iya, saya Antara, anaknya Pak
Sarmin.”
“Kamu Kala ya, yang lima hari lalu
mencetak foto di tempat percetakan ayah saya?”
Aku tergelak, terkejut dengan apa yang
baru saja terjadi, jantungku sedikit menurunkan intensitas detaknya. Aku
menghembuskan napas
bersyukur dengan keajaiban yang terjadi. Antara memecah keheningan dengan
bartanya kepadaku.
“Kalau memang kamu Kala yang dicari
ayah saya, mau ikut ke rumah nggak, ayah nyariin kamu sejak di Bogor.”
“Boleh-boleh … Kek Sarmin nyariin
saya?”
“Iya, Dia gelisah nyariin kamu,
pesenan kamu belum diambil-ambil.”
Antara dan aku berbalik badan
sebelum akhirnya kami berjalan menuju rumah Kek Sarmin. Belum mulai langkah
pertama, seorang kakek tua berjalan ke arah kami, Kek Sarmin. Aku berlari ke
arahnya lalu menyapanya, “Kek Sarmin, apa kabar?” Sambil mencium tangannya, Kek
Sarmin bertanya, “ Nak Kala ke
mana
saja, kakek cariin semenjak di Bogor.” “Maaf, Kek, saya lupa ngambil
fotonya di tempat kakek, eh terus saya ada tugas ke sini deh, baru inget
tadi pagi.” Aku
balas bertanya pada Kek Sarmin mengapa dirinya ada di Jogja, bukan di Bogor.
“Tapi kok Kakek ada di sini,
bukan di Bogor?” Kek Sarmin langsung menjawab dengan nada yang cukup
menenangkan.
“Jadi ceritanya begini, waktu di Bogor,
setelah satu jam Nak Kala pergi, Kakek dapat panggilan dari keluarga besar
untuk ke Jogja, malemnya, kakek sama Tara langsung berangkat naik mobil,
rencananya besok mau pulang ke Bogor, tapi Kakek inget ada pesenan yang belum
jadi, kebetulan flash disk-nya Nak Kala ketinggalan dan Kakek bawa
ke sini,
yaudah, tadi pagi dicetak fotonya, terus siang ini dikirim ke Bogor lewat
ekspedisi, takut Nak Kala nyariin di Bogor. Eh, taunya Nak Kala-nya ada disini, dan
kebetulan ketemu sama Tara yang mau antar fotonya ke jasa ekspedisi. Kakek
tadianya mau nyusul Tara, ada yang ketinggalan, surat minta maaf dari Kakek
buat Nak Kala.” Kek Sarmin memberikan suratnya padaku, bersamaan dengan
ponselku yang bergetar.
“Terima Kasih Kek, sampai
repot-repot buat surat ini untuk saya, saya jadi nggak enak.” Aku melihat layar
di ponsel, tertera di layar, Arman.
“Harusnya aku yang minta maaf, jadi
buat kakek gelisah gini…” Aku meminta maaf sekaligus berpamitan dengan Kek
Sarmin dan Tara.
“Maaf banget, Kek, aku harus pamit
duluan, mau ke Filosofi Kopi dulu, udah jam makan siang.”
“Kek Sarmin dan Mas Tara, saya izin
pamit duluan ya ... makasih lho udah nganterin foto pesenanku
jauh-jauh ke sini.” Aku berkata
sambil perlahan berjalan menjauhi mereka yang telah mengantarkan barang yang sempat
membuat pagiku kacau. Seutas senyum dari bibir ayah dan anak itu seolah sabagai
isyarat ucapan sama-sama yang tak terdengar olehku.
Aku menjawab panggilan dari Arman
sambil berjalan menuju kedai kopi. Panggilan kedua Arman, setelah yang pertama
tak terjawab olehku.
“Halo, La?” Suara Arman terdengar
dari ujung sana.
“Iya, Man … ada ap—” Arman langsung
menanyakan perihal foto yang ia titipkan padaku.
“La, fotonya mana, gue tungguin
dari kemarin, gue teleponin elu nggak elu angkat, gue chat juga nggak dibaca
sama elu, ke mana
aja sih elu La?”
“Sabar…sabar, fotonya udah aman,
udah gue ambil, besok gue kasih ke elu..”
“Elu di man—” Sial, suara Arman
terputus, ponselku habis baterai.
Aku sudah sampai di kedai Filosofi
Kopi, aku sedikit heran, mengapa kedai ini begitu berbeda, tampak dekorasi khas,
pertanda akan ada acara yang berlangsung disini.
Saat aku hendak memesan secangkir kopi, mataku
terkaget, melihat lelaki yang ada di depanku, membelakangiku namun aku mengenai
siapa dia. “Arman!!!!”
Arman menoleh ke arahku. Ke
mana
aja lo, La,
gue cariin dari kemarin.” Aku tidak memedulikan pertanyaan Arman, aku balik
bertanya padanya.
“Kok elu ada di Jogja, emang
reuninya di sini?” Arman menepuk keningnya, dia lupa memberitahuku satu hal.
“Astaga, gue lupa ngasih tau elu
kalo reuni kita tuh di sini,
di Filosofi Kopi Jogja.
“Gue juga baru tahu dari kantor
pusat, kalo elu sama Indah lagi di Jogja, makannya tadi gue nelepon elu,
mastiin kalo foto sama elunya ada di Jogja, eh, teleponnya putus ….”
“sorry-sorry … tadi hape gue mati.”
Seketika itu juga, hujan turun
membasahi Yogyakarta, sekaligus meluruhkan semua kekacauan hatiku sedari pagi
sampai siang ini.
***
Karya: Analogi Pagi